Plan termenung menatap jendela apartemen Mean. Sebulan setelah kepulangannya dari rumah sakit. Plann memang lebih banyak diam dan melamun. Suara tangis Sun pecah tapi itu sama sekali tak mengusik Plann yang tengah menatap kosong kearah jendela Mean.
"Plann..."
Mean menyentuh bahu Plann tiba-tiba membuat Plann tertarik dari lamunannya dan berteriak.
"Plann... Plann..."
Mean mengguncang tubuh Plann mencoba menyadarkan dirinya.
"Mean??"
Air mata Plann mengalir. Ditatapnya Mean penuh rindu. Lalu dipeluknya sosok itu dengan begitu erat.
"Sun... Dimana sun?? Suunnn...."
Plann berlari kearah kamar. Dan melihat anaknya tengah menangis. Ia membawa sun dalam dekapannya. Mencium dan memeluknya dengan erat seolah takut kalau ada orang lain yang mengambil anaknya dari dekapannya.
"Sssttt.... Papa disini sayang... Tenanglah... Papa tak akan meninggalkanmu sssttt...."
Mean hanya mampu menatap Plann dari kejauhan. Plann tidak pernah mau menceritakan apa yang terjadi antara ia dan Beam. Tapi Mean tahu pasti Beam sudah melakukan hal yang buruk pada Plann. Plann begitu ketakutan saat tertidur diranjang bersamanya. Ia selalu menghindari kontak fisik dengan Mean. Tatapannya selalu dipenuhi ketakutan dan kesedihan. Mean tidak bisa harus melihat Plann terus menerus seperti itu. Ia harus melakukan sesuatu,ia sudah amat merindukan Plannya.
################################
Mean terjaga. Ia melihat Plann yang gelisah dalam tidurnya. Bulir-bulir keringat membasahi dahi Plann. Mean benar-benar penasaran atas apa yang sudah menimpa kekasihnya itu.
"Plann...bangun plann.... Plann...."
Plann terbangun dari mimpi buruk nya. Terduduk dengan nafas yang memburu.
"Sayang..."
Mean mencoba memeluk Plann dari belakang. Tapi Plann mendorongnya dengan keras. Membuat Mean terjungkal. Tapi beberapa saat kemudian ia membulatkan matanya,kaget atas sikap kasarnya pada Mean.
"Mean... Mmmmaaaf... "
Mean benar-benar sudah tidak tahan dengan keadaan Plann yang menyiksanya itu. Mean mencengkram lengan Plann kasar.
"Katakan!!! Apa yang sudah Beam lakukan!! Katakan!!!"
Mean benar-benar telah hilang kesabaran. Sementara Plann mendapat perlakuan yang begitu mengintimidasi dari Mean. Membuat memori tentang Beam kembali datang. Kepalanya berdenyut nyeri.
"M-m-mean..."
"Jawab aku!!! Apa yang sudah bajingan itu lakukan!!! Jawab Plann!!!"
Air mata terus keluar membasahi wajah Plann. Plann benar-benar ketakutan. Ia tidak ingin mengingat kejadian waktu itu lagi. Kejadian yang menjadi penyebab atas apa yang terjadi pada ia dan Mean.
"Plann..."
Suara Mean melembut. Plann memegangi kepalanya. Menahan sakit yang begitu menyiksa.
"Plann... Plann.... Sayang... Ma-maaf sayang..."
Plann benar-benar kesakitan ia mengerang dan bahkan mencoba memukuli kepalanya.
"Plan!!"
Mean mencegah tangan Plan memukul kepalanya. Ia berusaha memeluk Plann. Walau Plann selalu menghindarinya.
"Plan.. kumohon... Plann... Tenangkan dirimu..."
Plann tak kuasa menahan sakit kepalanya. Ia meronta sekuat tenaga. Namun Mean lebih kuat dari dirinya. Mean memeluk tubuh mungilnya yang gemetar.