Mean menghela napas berat saat masuk ke dalam apartemennya. Pertemuannya dengan Beam benar-benar menguras emosinya. Namun bayangan Beam yang menangis di hadapannya memohon maaf lebih membuatnya merasa stres. Ia membenci sekaligus merasa simpati dengan anak itu.
Pranggg....
"Plan..."
Mean berlari ke arah dapur dan mendapati Plan yang tengah berjongkok memunguti pecahan gelas.
"Stop Plann..."
Mean menghentikan tangan Plann.
"Kau bisa terluka... Biar aku saja..."
"Tidak apa-apa Mean biar ahhh!!!"
Plann memegang kepalanya. Memejamkan matanya sangat erat. Seperti dilanda kesakitan yang amat sangat.
"Sayang.... Kamu kenapa?? Sayang..."
Plann mencoba memukuli kepalanya sambil terisak frustasi. Mean menahannya.
"Plan!! Hentikan... Plann...."
"Sakitt Mean..."
"Ssttt... Kalau begitu jangan dipukul nanti..."
"Aku tidak berguna Mean... Aku hanya jadi beban Mean... Aku..."
"Plann!!"
Mean menarik Plan dalam pelukannya.
"Hiks.... Apa aku gila Mean???"
Mean mengecup pucuk kepala Plan.
"Tidak! Kau sama sekali tidak gila Plan..."
Plan memeluk Mean erat. Menumpahkan segala emosinya dalam hangatnya dekapan Mean.
################################
Plan selalu teringat kejadian itu. Saat Beam memaksanya. Dan saat Plan melihat Mean yang tak sadarkan diri di mobilnya. Plan amat sangat merasa bersalah pada keduanya. Mean mungkin menyembunyikannya. Tapi Plan tahu cedera di bahu Mean masih menyisakan sakit yang terkadang masih dirasakan Mean. Membuat Mean memangkas habis sebagian besar jadwalnya.
Dan Beam. Plan sama sekali tak ingin bertemu dengan anak itu lagi. Namun jika dipikir kembali segala kekacauan ini memang berasal dari dirinya. Seandainya waktu diputar kembali ia tidak akan menerima pernyataan cinta dari Beam. Ia akan bersabar menunggu Mean untuk menyatakan cintanya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Beam kini membenci Mean dan itu karena kesalahan dirinya. Beam mungkin bersalah hari itu. Tapi apa yang dikatakannya benar kalau saja ia tak berselingkuh dan hamil mungkin tak ada yang terluka dan sakit hati seperti sekarang.
"Pagi sayang...."
Mean mengecup pipi Plan. Plan terkesiap,terbangun dari lamunannya.
"Ahh!!!"
Plan lupa kalau ia tengah memasak telur mata sapi untuk Mean. Ia memandang telur yang menghitam diatas penggorengan.
"Maaf Mean,aku akan menggantinya..."
Mean tau kalau Plan masih trauma dengan kejadian yang menimpanya. Ia berusaha memaklumi keadaan Plan. Namun ia juga harus mencari cara agar Plan tidak terus menerus terpuruk dengan keadaannya.
"Tak perlu sayang... Ini,aku masih bisa memakannya. Tampilannya mungkin sedikit kurang menarik tapi aku yakin rasanya pasti selezat dirimu."
Mean kembali mendaratkan kecupan di pucuk kepala Plan. Plan tersenyum getir.
"Apakah aku begitu menyedihkan Mean??"
"Huh??"
"Tak perlu berbohong untuk menyenangkan perasaanku."
