Plan berjalan di altar bersama Mean. Bergandengan tangan dengan erat,sesekali mereka akan bertukar pandang dan tersenyum. Plan tak pernah membayangkan kalau hari ini akan terjadi di hidupnya. Berjalan menuju altar dengan Mean. Seseorang yang ia kenal 4 tahun lalu. Seseorang yang Plan sendiri tak pernah berpikir akan jatuh dalam pelukan pria tampan itu.
"Ahhh...."
Plan tersandung kakinya sendiri,terlalu gugup mungkin. Untungnya Mean dengan sigap menahan tubuh kekasihnya itu. Memeluk tubuh mungil itu,wajahnya langsung berubah khawatir.
"Kau baik-baik saja??"
Plan hanya mampu tersenyum. Ia tak menyangka dibalik sifat konyol dan kekanak-kanakannya Mean adalah seorang pria yang lembut dan bertanggung jawab. Siap memberikan segalanya demi kebahagian keluarga kecil mereka.
Plan kembali berdiri tegak sementara Mean yang masih khawatir masih memandangnya tanpa berkedip.
"Aku tidak apa-apa Mean..."
"Kau tampan..."
Mean tersenyum tulus,membuat Plan bersemu. Dan menghindari tatapan Mean. Mean benar-benar tak pernah menyangka kalau kekagumannya pada Plan akan membuahkan cerita manis. Dari pertama ia melihat Plan,Mean sudah terpesona dengan pesonanya. Mean tak bisa melepaskan tatapannya dari pria manis yang kini sedang menggenggam tangannya erat. Yang telah memberikan seorang malaikat di keluarga kecil mereka. Mean sama sekali tak menyangka ia akan memiliki seorang anak di usianya yang muda,disaat karirnya tengah cemerlang. Membina keluarga disaat ia sendiri masih belum tau jalan mana yang akan ia tapaki. Tapi Plan,pria manis yang telah memberikan seribu kekuatan dalam dirinya. Pria terbaik yang pernah ia temui dalam hidupnya. Pria yang telah membuatnya bertekuk lutut. Pria yang sama sekali tak bisa Mean lewatkan,tak bisa ia lepaskan.
Mereka berdua telah berdiri didepan pastor setempat. Yang walau telah berwajah tua tapi senyumnya begitu tulus menyambut mereka. Inilah saatnya mereka mengikat janji. Bersama selamanya sampai maut memisahkan. Bahkan kalaupun bisa Mean ingin mereka tak terpisahkan sama sekali. Ia ingin selama-lamanya bersama keluarga kecilnya itu. Berbagi tawa dan kesedihan bersama. Ia sama sekali tak ingin terpisahkan dengan pria yang amat ia cintai. Membayangkan saja ia tak akan sanggup. Tak akan pernah sanggup.
Dan bulir-bulir hangatnya air mata turun membasahi pipi Mean. Membuat Plan cemas.
Apa ia menyesalinya???
Menikahiku...
Seolah bisa membaca kekhawatiran Plan. Mean menarik tubuh lelaki yang kini resmi menjadi suaminya itu. Mencium,tidak. Melahap bibir ranum Plan. Menghisapnya seolah ia menggantungkan hidupnya disana. Suara gemuruh teriakan dan juga tepuk tangan sama sekali tak dihiraukan Mean. Air mata masih tetap bergulir walau ciuman mereka kian memanas. Plan mendorong dada Mean memberi jarak antara mereka. Matanya yang sayu menatap bola mata Mean yang masih dilinangi air mata. Plan menghapus air mata itu dengan lembut. Kelembutan yang selalu bisa menghangatkan perasaan Mean.
Mean tersentuh,tersenyum lalu mengecup kening Plan lembut begitu lembut hingga rasanya sanggup meruntuhkan dinding-dinding di hati Plan. Plan bukanlah orang yang mudah terbuka pada sekitarnya. Tapi dengan Mean,dengan pria yang satu tahun lebih muda darinya itu ia selalu bisa terbuka,selalu bisa jujur,selalu bisa bahagia.
"Ehm... Maaf... Tapi Sun juga ingin dicium ayahnya."
Phii Prim mendekat sambil menyodorkan Sun yang tersenyum lebar seolah merasakan kebahagiaan yang juga telah dirasa kedua orang tuanya. Plan mengambil Sun dari tangan kakaknya,mencium dan mendekap pria kecil yang jadi cahaya di kegelapannya. Yang menjadi arah baginya untuk kembali pulang,pulang dalam kehangatan cinta Mean.