Tidak banyak berubah dari Bangkok. Itu yang pertama terlintas dipikiran Plann saat menginjakan kakinya di bandara Suvarnabhumi. Plann berjalan melewati hilir mudik manusia yang mengejar waktu. Empat koper besar ia dorong. Sedangkan Sun ada dalam buaian Prim.
"Plann!!!"
Phii Zanook melambaikan tangan. Memberi tanda pada Plann agar ia memperhatikannya. Senyum Plann mengembang. Begitu ringan begitu lebar. Bahagia jelas terpancar dari raut wajahnya. Langkahnya ringan menuju Phii Zanook.
"Phii..."
Plann memeluk pria yang sudah menjadi manager Mean selama bertahun-tahun.
"Akhirnya kau kembali juga."
Plann hanya tersenyum. Phi Zanook lalu mengalihkan pandangannya ke arah bayi mungil dalam dekapan Prim.
"Wah... Dia mirip sekali dengan ayahnya..."
"Ayah yang mana yang kau maksud phii..."
Plann menggoda. Phii Zanook memutar bola matanya. Plann memang juga seorang ayah dari Sun. Tapi bagaimana pun bayi itu keluar dari kandungan Plann otomatis itu membuat phii Zanook berasumsi kalau Plann adalah seorang ibu. 😁😁
"Hmmm... Tentu saja Mean. Kau kan ibunya..."
"Eh... Tapi aku kan..."
Plann ingin membantah tapi dengan cepat phii Zanook menutup mulutnya.
"Ngobrol di rumah saja... Sebentar lagi aku harus menjemput suamimu."
Plann tersenyum. Kata suami entah kenapa terasa lucu ditelinga Plann.
Plann kembali mendorong koper-kopernya ketika sebuah suara mengalihkan perhatiannya.
"Plann..."
Plann menatap si empunya suara dengan sedikit ketakutan yang perlahan menjalar ke dadanya.
"Beam..."
Plann hanya berbisik. Dan seketika tenggorokannya terasa kering. Tercekat oleh hawa yang sama sekali tak ia inginkan.
################################
Plann terdiam. Menunduk. Sementara di hadapannya Beam menatapnya bagai pemangsa yang lapar.
"Kau terlihat berbeda."
Plann tak bereaksi. Entah mengapa aura yang terpancar dari Beam tak sehangat saat mereka masih bersama. Plann mencoba menerka-nerka arah pembicaraan mereka ketika tiba-tiba Beam meraih lengannya dan mencondongkan tubuhnya. Hampir mendaratkan bibirnya pada pipi Plann. Tapi untung Plann dengan cepat menghindar dari serangan Beam. Beam mendecih.
"Chh... Anakmu lucu. Sayangnya ia mirip sekali dengan si brengsek sial..."
"Beam!"
Plann mencoba melepaskan tangan Beam dari lengannya. Tapi Beam semakin kencang memegangnya.
"Kenapa?? Apa kau mau melanggar kesepakatan kita phii??"
Plann diam tapi masih berusaha melepaskan tangan Beam dari lengannya.
"PLANN!!!"
Suara Beam membahana. Hampir menulikan telinga Plann. Plann meringis kesakitan. Terasa pahit di kerongkongan. Plann merasa bersalah pada Beam karena melanggar kesepakatannya. Tapi ia juga tak bisa menahan Mean dari darah dagingnya. Suara isakan tercekat ditenggorokan Plann. Sementara air mata gagal ia bendung dan mangalir bebas diatas pipi chubbynya. Plann memejamkan mata.
"Aku pantas mendapatkan ini.
Bagaimana pun aku berkilah.
Tetap saja aku yang salah. Maafkan aku Beam..."Plann merasa dadanya sakit. Bagai ditumbuk batu bertubi-tubi. Tapi ia percaya bahwa Beam jauh lebih sakit dari dirinya.
"Maafkan aku Beam... Ahh..."
Plann merasakan sengatan di lehernya. Dan gelap tiba-tiba menyelimutinya.
"Maafkan aku..."
Kata terakhir yang terucap sebelum Plann benar-benar jatuh ke alam bawah sadarnya.
################################
Mean berlari penuh semangat menyusuri lorong apartemen tempat ia dan Plann akan tinggal bersama.
"Sayang..."
Mean menyapa penuh semangat saat ia membuka pintu apartemennya. Tapi yang ia dapati jauh dari harapannya. Phii Prim,Phii New juga kedua orang tua Plann tampak cemas dan gelisah di kamar apartemennya. Sementara Sun terlelap di box bayinya.
Mean mengedarkan pandangannya. Mencari seseorang yang juga amat ia rindukan.
"Plann... Dimana..."
Belum juga ia menyelesaikan kalimatnya. Mean menyadari kalau sesuatu telah terjadi pada kekasihnya.
"Apa yang terjadi??"
Suara Mean mendadak berat dan berubah serius. Mean menatap ke semua orang di ruangan itu. Tapi tak ada satu jawaban pun yang ia dapat.
Prim berdiri meraih jaket kulitnya yang tergeletak di atas sofa. Dan juga kunci mobil kedua orang tuanya.
"Ma... Tolong jaga Sun..."
Prim melangkah menuju pintu tapi ditahan lengan Mean.
"Kemana??"
Mean tahu pasti kepergian Prim ada hubungannya dengan Plann.
"Beam."
Mean menatap tajam ke arah Prim seolah meminta penjelasan. Mengapa Plann bisa berhubungan dengan anak itu lagi.
Prim menghela napas.
"Kami bertemu dia di bandara. Dia... Meminta Plann untuk bicara empat mata dengannya. Dan Plann... Mengikutinya... Dan ini sudah hampir 6 jam."
"Plann belum kembali hah??"
Dada Mean serasa terbakar. Dengan cepat ia berbalik kembali menuju mobilnya yang terparkir di area basement apartemennya. Perasaannya benar-benar kacau. Ia merasa sesuatu yang buruk sedang terjadi pada kekasihnya. Pikirannya benar-benar kalut. Dengan cepat ia memacu kendaraannya. Amarah dan juga rasa cemas yang menguasai pikirannya benar-benar membuat ia tak terkontrol. Ia menginjak pedal gas kuat-kuat. Hingga tak sadar bahwa di depan adalah sebuah persimpangan.
Brakkk....
Sebuah mobil menabraknya dari arah kiri. Seketika gelap menyelimuti. Mean merasakan nyeri dan perih disekujur tubuh. Tapi sebelum Mean hilang kesadaran. Satu nama ia hembuskan dengan nafas yang hampir putus.
Plann...
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
Kenapa??? Jadi beginii???
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭Sorry semuanya... Author juga sedih nulisnya... Tapi sebuah drama memang butuh konflik yah... Jadi gak apa yah... Jangan hakimi author please... 😭😭😭😭
Bonus...
Mungkin ini yang dinamakan kapal hantu. Tapi ini OPV jatuhnya kaya kisah ibu dan anak 🤣🤣🤣🤣