Part 13 Meruntuhkan Pertahanan

2.1K 168 4
                                    

Kia terperangah ketika ojek mereka sampai di tempat tujuan. Suara ombak menghantam karang terdengar riuh. Langit biru yang cerah dengan guratan awan putih membuat rahang Kia tak kuasa menutup. Mereka berdiri di atas batu-batu besar, menghadap lautan luas dengan air yang biru, sebiru langit di atas mereka. Berada di puncak daerah pegunungan, angin yang menerpa tubuh mereka kencang sekali. Rambut panjang Kia berkibar liar.

Ini... surga, batin Kia. Di sebelahnya Ikram tersenyum senang memerhatikan Kia.

"Mas... ini... indah banget," seru Kia hampir memekik.

Sementara Ikram tidak bisa menahan senyumnya untuk terus mengembang melihat reaksi Kia.

"Belum, Ki. Ini baru luarnya. Kita harus masuk."

Dengan impulsif, Ikram menarik tangan Kia untuk masuk ke dalam wahana Pantai Timang di Gunung Kidul itu. Agak kesusahan karena jalan di sana masih berupa tanah dengan bebatuan yang tajam. Ikram tetap menggenggam tangan Kia sambil membantu Kia berjalan.

Ketika masuk mereka langsung menuju loket penjualan karcis dan membeli dua karcis. Di hadapan mereka membentang lautan luas dengan ombak yang ganas, membelah pantai yang mereka pijak dengan bukit karang besar di pulau seberang. Satu-satunya cara untuk menuju ke bukit karang di seberang adalah dengan gondola yang menjadi wahana wisata di tempat tersebut. Tapi tidak ada peralatan canggih seperti di Dunia Fantasi atau Trans Studio. Hanya sebuah gondola kecil yang mampu menampung maksimal dua orang di dalamnya dengan tali temali yang simpulnya terlihat sederhana mengikat kayu-kayu penyusun gondola. Agak-agak ngeri, sih. Dengan peralatan seadanya, Kia meragukan keamanannya. Tapi justru itulah daya tarik wisata ini; memacu adrenalin. Bukankah manusia selalu seperti itu? Sudah hidup tenang-tenang, eh malah mencari situasi menegangkan.

"Kamu berani kan, Ki?" tanya Ikram.

Kia masih merasa takjub dengan pemandangan di depannya. "Maksudnya, kita nyeberang ke pulau di sana pakai itu?" tunjuknya pada gondola kecil yang tengah mengangkut wisatawan lain.

Ikram tertawa. "Iya, lah! Kalau nggak, ngapain kita ke sini."

"Kita? Yang mau kan Mas Ikram," canda Kia pura-pura tak terima.

Ikram tertawa geli. Gemas juga melihat Kia seperti ini. Wajahnya itu... hmm.. apa ya... priceless? batin Ikram. Jarang-jarang dia melihat Kia dengan wajah seekspresif ini. Membuatnya ingin mencubiti pipi Kia.

"Tapi... itu aman kan, Mas?" tanya Kia ragu.

"Kenapa? Ya, paling kalau jatuh ke laut sana," jawab Ikram santai sambil menunjuk pada lautan pantai selatan dengan ombak yang ganas. Kia langsung membayangkan tubuhnya dihantam ombak kencang bertubi-tubi jika jatuh ke bawah sana.

"Paling? Berasa kucing ya punya sembilan nyawa. Jangan sompral, deh."

Ikram tertawa. "Ya sudah, kita naik gondolanya berdua kalau gitu. Mau?"

Kia memerhatikan beberapa wisatawan lain yang silih berganti menaiki gondola ekstrem itu. Kebanyakan dari mereka naik sendiri-sendiri.

"Boleh?" tanya Kia mirip anak kecil yang mengonfirmasi sebuah izin dari orang tuanya.

"Bisa," jawab Ikram dengan anggukkan mantap. "Gondolanya bisa dinaiki maksimal dua orang. Kalau kamu takut, saya temani."

Kia menahan tawa dengan kepalan tangan yang menutup mulutnya. Kia berpikir ini seperti adegan antara ayah dan putrinya. Semakin memikirkan itu Kia jadi semakin geli.

"Ayo!" ajak Ikram, mengulurkan tangannya yang disambut tanpa ragu oleh Kia.

Sebenarnya Kia tidak takut. Rasa ngeri sih ada tapi kalau takut, tidak sama sekali. Ia hanya terlalu menikmati "bermanja-manja" pada Ikram. Atau bisa jadi dirinya terlalu senang "dimanja" oleh orang lain. Setelah sekian lama berusaha untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bantuan orang lain, inilah kali pertama ada orang lain yang membuat Kia merasa berarti kembali. Laki-laki di sampingnya inilah yang selalu tulus memberikan perhatian padanya. Meskipun ia tidak mau berharap terlalu tinggi, setidaknya izinkahlah ia merasakan dirinya "ada".

After BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang