6

806 175 80
                                    

Seokjin berulang kali menyumpahi perbuatan sang ayah yang membuatnya tak bisa lepas dari Kim Saeron. Ia bisa saja menendang gadis itu keluar atau pergi dari tempatnya, namun ia sedang dalam keadaan tidak berminat untuk berdebat dengan sang ayah. Seokjin memilih mengalah. Setidaknya ia sudah membuat gadis itu kesal dengan mendiamkannya selama berada di dekatnya.

Kini, Seokjin telah tiba di sebuah rumah yang tak begitu besar, juga tak begitu kecil. Rumah dua lantai yang minimalis namun terlihat begitu tenang dan damai. Ia menarik hand rem dan menghentikan mobilnya tepat di halaman kecil rumah itu.

"Terimakasih, kak Seokjin. Turun dulu yuk. Mama sudah buatkan minuman hangat."

"Kalau mau turun, segeralah turun. Aku lelah."

Saeron nampak kecewa. Ia terlihat ingin berucap namun Seokjin kembali memotongnya.

"Turun dan jangan banyak bicara."

Kesal, Saeron melepas seatbelt dan segera turun dari mobil. Seokjin masih terdiam dan menatap dalam kearah gadis itu. Ia melihat, ada seseorang yang keluar dari rumah. Tak mendengar apa yang terjadi, namun, Seokjin tau ada sedikit percecokan diantara dua orang yang berada di ambang pintu itu. Saeron sedikit mendorongnya lalu dia sendiri segera masuk ke rumah.

"Siapa gadis itu? Saeron tak pernah terlihat dengannya?" gumam Seokjin yang masih setia mengamati gadis yang berjalan dengan perlahan menuju halaman rumahnya.

Buru-buru, Seokjin turun dari mobil. Ditariknya tangan gadis itu agar tak terjatuh karena menabrak mobilnya.

"Eh? Siapa ini?"

"Kau hampir menabrak mobilku."

"Oh, maaf. Apa kau temannya Saeron? Kau yang mengantar Saeron?"

Seokjin tersenyum. Ia sedikit merasa tersentuh dengan gadis yang bertutur lembut sepertinya. "Aku yang mengantar Saeron. Tapi, aku bukan temannya. Dia pernah menjadi model untuk produk di perusahaan kami. Kau mau kemana?"

"Hanya ingin mencari angin segar."

Seokjin mendongak. Tak ada bintang. Langit mendung, itu sudah pasti karena bulanpun enggan muncul. Bisa saja gadis ini nanti akan kehujanan. Seokjin berinisiatif mengajak orang yang belum ia kenal ke sebuah taman.

"Ikut aku."

.

Suasana sangat hening ketika Seokjin menghentikan mobilnya disebuah taman. Seokjin berniat membeli kopi namun, gadis itu menahannya.

"Aku memang tak bisa melihat, tapi aku bisa merasakan dia orang baik atau bukan. Dan, aku tau kau orang yang baik. Kau tak perlu repot membelikan minum. Aku hanya butuh udara segar."

Seokjin mengerti. Ia turun dari mobil dan mengajak Yerim jalan-jalan. Ia juga membawa payung khawatir jika tiba-tiba hujan.

"Aku belum tau namamu..."

"Seokjin. Panggil saja kak Seokjin. Lalu, dirimu?"

"Aku Kim Yerim. Kau bisa memanggilku Yerim, kak."

"Kau dan Saeron bersaudara?"

Yerim mengangguk. "Aku kakaknya. Tapi, tolong jangan katakan pada rekan kerjanya yang lain ya," ujar Yerim yang diakhiri dengan kekehan canggung.

"Apa dia malu memiliki kakak sepertimu?"

Pertanyaan to the point alias tanpa basa-basi milik Seokjin membuat Yerim terdiam. Tidak, Saeron tak pernah mengatakan malu, hanya saja, dari gerak-gerik sang adik, Yerim menjadi tau diri. Dia adalah beban di keluarga, oleh karena itu, hidupnya hanya didedikasikan untuk menjadi seorang pianis dengan segala kekurangannya. Dengan mempunyai piano, ia tak akan merasa perlu pergi keluar. Mungkin, keluar hanya untuk berada di akademi. Tak lebih.

River Flows In U √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang