Nasi Goreng Ibu

106 9 1
                                    

"Aku ngga suka. Ngga enak, Ayah." Kau menolak nasi goreng yang baru saja kuhidangkan untukmu.

"Ini enak, Nida. Cobain deh. Hap, nyam...nyam..." Aku memasukkan sesendok nasi pada mulutku. Ah, memang tidak enak sama sekali. Asin, dan manis berlebihan dari kecap. Pantas saja Nida tidak mau.

"Aku sukanya nasi goreng Ibu. Ada telurnya, ada bawang gorengnya, ada ayam suirnya."

"Tapi, sekarang Nida makan ini dulu, ya. Ayah akan belajar bikin nasi goreng kayak yang dibikin Ibu, okey?"

Nida mulai menangis. Ia menggulung ujung bajunya di bawah meja. Isakan kecil itu sungguh meluluh lantakkan tulang-tulangku. Aku sudah lelah mendengarnya menangis seminggu belakangan ini.  Aku menyerah. Emosiku yang sudah memuncak tak dapat lagi kukendalikan.

"Mau makan atau nggak! Ayah udah capek masakin kamu, Nida! Makaaan...!" Kudorong piring di meja lebih dekat padanya. Kupikir ia akan ketakutan dan pasti melahap nasinya setelah kubentak barusan. Tapi Nida sama sekali tidak memperdulikan teriakanku. Ia masih saja menunduk ke bawah meja sambil menggulung ujung bajunya.

"Aaagghh! Aaagghh!" Teriakanku memenuhi ruangan. Kulempar piring berisi nasi itu ke lantai. Kutendangi apapun benda terdekat denganku. Tidak puas hingga disitu, tinjuku menghantam dinding berkali-kali hingga tangan ini terasa kebas, meninggalkan jejak berdarah di dinding.

"Alila ... Kumohon...! Kumohon Tuhan, sembuhkan dia. Aku tidak bisa tanpanya." Aku kehilangan harga diri di depan putri semata wayang kami. Biarlah Nida melihat betapa cengengnya aku. Aku meraung keras. Aku memohon kepada Tuhan, entahlah. Kurasa aku juga mengucapkan makian entah untuk siapa.

"Aku tidak sanggup, Tuhan. Aku hanya manusia biasa. Aku bukan malaikat, aku tidak sempurna, aku banyak salah. Tapi aku mohon, Tuhan. Andai Kau berkenan, biarlah aku yang merasakan sakit itu. Jangan Alila..."

Di tengah isakku, terbayang Alila yang kini terbaring lemah di rumah sakit. Alila korban kecelakaan tabrak lari, dan kini ia koma.

Tangan kecil itu meraih pundakku, "Ayah, Nida udah kumpulin nasinya. Ini, Nida makan kok. Maaf, Ayah."

Gadis kecilku menyuap butiran nasi itu pada mulutnya, mengunyah pelan-pelan, sambil tersenyum padaku. Ya Tuhan! Apa yang sudah kulakukan? Kuraih ia pada pelukanku.

"Tidak, Sayang. Ayah yang minta maaf. Maafin Ayah, ya. Kita bisa rebus mie instan. Habis itu kita ke rumah sakit, temenin Ibu, ya..."

Aku memang manusia biasa
Yang tak sempurna, terkadang salah
Namun dihatiku hanya satu
Cinta untukmu luar biasa.

***

My Short Story (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang