Lain Dulu Lain Sekarang

154 10 0
                                    

Hayoo, senyam senyum aja dari tadi, ngga jelas nih si Kakak." Tisya mengagetkanku. Hampir saja gawai ditanganku lepas.

"Apaan sih nih bocah. Udah sana, sana, sana, Untung ngga jatuh ..." geramku sambil mengelus ponsel pintar bergambar apel itu.

"Dih, segitunya. Lagi chatting sama siapa sih?" Aku kalah cepat. Ponsel itu berpindah tangan pada Tisya.

"Cieee ... Yang bakalan nikah dua minggu lagi."

"Ish! Anak kecil kepo, deh!" Sekarang ponselku kembali. Aku mengacak rambut Tisya, geram. Dia menjulurkan lidahnya. Ayah dan ibu tertawa.

"Anak-anak sekarang ..." Ayah kembali mengangkat korannya. Mata tuanya fokus pada lembaran berita terbaru negeri ini.

"Anak sekarang kenapa, Yah?" Tisya yang kepo akut penasaran. Ayah melirik kami. Melipat lembaran surat kabar, lalu membuka kacamatanya.

"Ya, ngga seperti kami dulu. Mau tahu kabar saja mesti nunggu pak pos dulu, baru dapat jawaban. Itupun lama. Semingguan. Sebulan sekali dapet surat dari ibumu ini rasanya Ayah udah senang." Ayah mengerling pada ibu. Ibu membalasnya dengan cubitan manja di lengan ayah.

"Uuuuh ... so sweet banget. Tapi kelamaan ya, Yah."

"Justru itu, ada sensasi tersendiri saat-saat menunggu itu. Pertemuan menjadi saat yang paling berharga untuk kami. Dan, setelah bertemu, rasanya tidak ingin berpisah lagi." Ayah menggenggam jemari ibu. Ibu membalasnya dengan tatapan penuh cinta. Aku terharu. Hatiku menghangat melihat kemesraan orang tuaku. Hal seperti ini semoga juga terjadi padaku dan Reno setelah kami menikah nanti. Tidak ingin kehilangan momen bahagia itu, kuarahkan kamera ponselku pada ayah dan ibu.

"Yah, Bu, cheers...!"

Cekrek!

***

Duh! Baper. Semoga yang udah menikah langgeng terus pernikahannya sampai kakek nenek. Yang belum punya pasangan, banyakin berdoa, perbaiki kualitas diri, dan jadilah orang yang baik. Karena Tuhan hanya memberikan orang baik kepada hamba-Nya yang baik pula. Siiip...

My Short Story (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang