Salesman

59 7 0
                                    

Ditolak lagi. Tidak masalah. Aku masih yakin rejeki sudah diatur oleh Tuhan. Hari ini tidak ada satupun pintu yang bersedia terbuka dan menerima kunjunganku. Keringat mulai menetes dari pelipis. Cuaca memang terik sekali siang ini. Kakiku semakin lelah berjalan, bukan masalah. Sayup-sayup kudengar suara adzan. Aku mencari dimana asal panggilan merdu pertanda masuknya waktu salat itu berasal.

Sebuah musholla di lingkungan perumahan elite. Musholla itu bersebelahan dengan warung nasi. Hmm, jam makan siang seperti ini, lebih ramai warung nasinya dibandingkan musholla.

Selesai salat berjamaah, aku membuka kotak bekalku. Nasinya sudah dingin, demikian juga dengan telur ceplok dan mie goreng sisa sarapan yang sengaja kumasukkan ke kotak bekal. Alhamdulillaah, rejekiMu Ya Allah...

"Assalamualaikum," seseorang menyentuh pundakku ketika aku baru saja menyuap sesendok nasi. Dengan mulut terisi, dan sedikit kaget kujawab salam itu. Susah payah kutelan nasi putih yang teksturnya menjadi lebih keras kini. Kuteguk air dari botol isi ulangku.

"Pelan-pelan saja, Nak." Lelaki paruh baya itu tersenyum ramah padaku. Wajahnya bersih menenangkan. Aku jadi malu berhadapan dengan beliau.

"Ya, Pak. Hehe... Maaf," aku merasa salah tingkah dengan senyum dan tatapan beliau.

"Jualannya apa, Nak?"

"Anu, mesin cuci, Pak. Saya ditugaskan untuk mendemonstrasikan cara kerjanya, dari rumah ke rumah. Tapi hari ini belum ada satu demo pun saya dapatkan. Yah, mudah-mudahan menjelang sore nanti ada rumah yang bersedia saya kunjungi."

"Ooohhh... Merk apa?"

Aku menyebutkan sebuah merk pada si Bapak. Beliau mengangguk-angguk, mafhum.

"Siang-siang begini memang lingkungan ini sepi. Rata-rata masih pada ngantor. Di rumah paling-paling asisten rumah tangga."

"Hmm, sepertinya begitu ya, Pak."

"Di rumah saya aja, Nak, demonya. Kebetulan ada gorden yang sudah lama tidak dicuci."

Aku berbinar. Rasanya lelahku terobati. Ah, setidaknya aku punya laporan nanti pada supervisor.

Selesai makan, aku dan si Bapak menuju kediaman beliau. Sebuah rumah megah berlantai dua dengan pagar tinggi berwarna emas. "Wah, prospek ini," pikirku.

Kini kulakukan demonstrasi alat di depan Bapak dan Ibu empunya rumah. Bersemangat sekali aku menunjukkan kelebihan mesin yang kudemokan. Tujuanku fokus, hanya satu, semoga mereka tertarik dan membeli mesin cuci dariku.

Kukeluarkan gorden yang selesai kucuci. "Nah, lihat Pak, Bu, bersih dan wangi tanpa merusak serat kainnya, kan? Itupun tanpa harus membuka cantelan besi sangkutannya. Praktis kan, Pak, Bu. Ngga perlu repot-repot lagi Ibu ke laundry kalau punya mesin ini."

Pasangan paruh baya itu mengangguk mengiyakan. Si Ibu sepertinya mulai tertarik. "Tapi mahal, ya?" ulasnya.

"Begini Pak, Bu,..." Kutarik napas dalam sebelum melanjutkan menjelaskan keistimewaan mesin cuci ini. Tatapanku fokus. Penjelasanku juga fokus pada kemudahan-kemudahan yang akan mereka dapatkan. Tuhan, tolong aku. Tujuanku hanya satu, semoga aku bisa closing siang ini.

***

Sapa yang pernah coba jadi sales door to door...? Saya pernah. Sumpah, rasanya capek warrr biasa. Capek hati karena dikejar2 target dan supervisor 😂
Etapi, bahagia banget pas bisa ngejual. Saya waktu itu jadi sales mesin cuci yang mihil itu. Tau kan? Ngga tau? Oh, ya udah deh 😔.
Jadi waktu ngejual 1 unit aja persenan saya mayan banget buat anak yang baru lulus SMU. Saya pake deh tuh buat jajan dua bulan. Eh, kok jadi curhat 😅. Ehm, tolong di vomen ya, berarti banget loh buat saya. 😘

My Short Story (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang