Dini Hari Tadi

63 8 0
                                    

"Bang, aku hamil!" pekikmu, sesaat setelah kuparkir motorku di halaman rumah kita. Aku baru saja pulang dari kantor sore itu. Bertahun kita menantikan rejeki Tuhan ini. Rasanya kebahagiaan pernikahan kita sempurna hari itu.

Hari demi hari berlalu. Kau semakin cantik dan menggemaskan dengan perut gendutmu. Senang sekali kau bermanja-manja padaku. Dan demi Tuhan, aku dengan bangga melayani engkau. Seperti sore itu, kau bersungut-sungut sebab tak bisa memasang kaus kakimu. Dengan senang hati kupasangkan. Ditambah dengan pijatan pada betis dan tumitmu, katamu sering pegal sejak kandunganmu membesar.

"Abang, abang capek ya?"

"Enggak, kenapa cantik?"

"Pinggangku rasanya mau putus, pegel rasanya, Bang."

"Sabar ya, sebentar lagi si Dedek keluar," kuusap punggungmu dengan lembut seperti yang diajarkan Bu Bidan tempo hari. "Dedek, anak sholeh, lagi apa? Jangan seru-seru ya nendangnya, kasian Ibu," ujarku sambil mengusap perut gendutmu.

"Ih, Abang ada-ada aja. Emang si Dedek ngerti?"

"Ya ngerti, dong. Kan ayahnya yang ngomong. Pasti dia ngerti."

"Abang sayang banget sama dedek, ya? Laras yakin, Abang akan jadi ayah yang hebat untuk anak kita."

"Ya mestilah. Abang juga suami yang hebat, kan untuk kamu?"

"Iyaaa... Suami siaga." Kau mencubit hidungku.

Hari sudah larut malam, tapi kita masih bercerita tentang masa depan. Tentang rumah yang akan berantakan oleh mainan, tentang betapa repotnya kita berbagi pekerjaan rumah. Dan tentang betapa lucunya wajah anak kita. Sepertinya malam ini kau sangat antusias dengan peran barumu nanti. Peran yang paling kau dambakan sejak lama, menjadi ibu.

"Aaa... Aduh! Bang! Aduh, astaghfirullaah... Ya Allah, Bang, sakiiit..." Tiba-tiba saja kau sangat kesakitan. Ada air yang keruh membanjiri kasur kita. Mungkin itu yang namanya air ketuban. Aku sudah siaga, sudah waktunya bayi kita lahir. Kubawa engkau ke bidan langganan. Sakitmu semakin jadi. Tensimu tinggi. Bidan merujuk melahirkan dengan operasi di rumah sakit. Aku terhenyak, tidak menyangka bahwa kondisimu segawat itu. Tengah malam buta aku membawamu ke rumah sakit di kota.

Aku tidak bisa tenang. Tak putus kusebut asma Allah, berharap semuanya akan baik-baik saja. Dini hari, anak kita lahir, seorang bayi perempuan cantik, sama cantiknya denganmu. Tetapi Laras, dini hari kau pergi. Kau tinggalkan kami untuk selamanya. Laras, bukankah kita baru saja bercerita tentang masa depan kita bersama bayi lucu ini? Sekarang aku harus bagaimana? Laras, kenapa Laras, kenapa?

Kupeluk bayi mungil kita pulang bersamamu di dalam ambulance. Kupandangi wajahmu, Laras. Senyum mengembang dari bibirmu. Apa kau bahagia? Sepertinya syurga begitu indah hingga kau terlihat damai sekali. Aku mencintaimu, Laras.

Bila yang tertulis untukku
Adalah yang terbaik untukmu
Kan kujadikan kau kenangan
Yang terindah dalam hidupku

Namun tak kan mudah bagiku
Meninggalkankan jejak hidupku
Yang telah terukir abadi
Sebagai kenangan yang terindah.

***

Saya baper, bener! 😭😭😭
Ada banget kejadian beneran kek gini. Maut, siapa yang bisa menolak. Ya Tuhan....

My Short Story (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang