0.7

289 40 0
                                    

@heybablee

Awan mendung mulai menaungi bumi. Desiran angin yang berhembus mampu menembus jiwa dengan mudahnya. Aktifitas manusia dua kali lipat lebih cepat dari biasanya dikarenakan hujan hendak berkunjung. Tidak ada tujuan lain selain bernaung di suatu tempat sehingga tubuh tidak terkena percikannya. 

Lain halnya dengan seorang anak remaja yang sedang memandang jauh air di bawahnya. Ia mendekatkan badan ke pinggiran Jembatan Mapo, berharap dirinya bisa melihat air tersebut lebih dekat. Di dalam benaknya berputar suatu rasa yang tidak biasa. Ia gugup. Ia merasa takut. Namun ia juga ingin pergi dari dunia ini. Di saat semua mahluk di bumi ini bersiap menghindari tetesan air hujan, anak remaja itu malah berdiam diri di tempatnya. Banyak lalu lalang orang-orang yang melewatinya, namun tidak ada satupun yang menanyakan keberadaannya. Tidak ada yang peduli dengannya.

Tidak ada satupun.

Anak itu lantas mengeluarkan sebuah kertas foto dari dalam saku jaketnya. Dibalik bibirnya yang pucat, anak itu mencoba tersenyum getir saat memandang penampakan yang muncul di kertas tersebut. Tangannya yang bergetar sangat mencerminkan jiwanya yang kini sedang goyah.

"Aku lelah, Bu..." Anak itu mulai bermonolog.

"Kapan semua penderitaan ku berakhir? Kau berjanji setelah hari itu aku akan bebas menghirup udara di bumi ini tanpa rasa takut. Mana Bu? Mana janji mu? Hingga detik ini rasa sakit itu masih menghinggapi ku...aku lelah...aku ingin istirahat Bu..."

Tetes air hujan mulai mengguyur Kota Seoul secara perlahan. Kertas foto itu mulai basah akibat terkena percikan airnya.

"Apa Ibu mendengar ku? Disini tidak ada yang mendengar ku Bu...." Air matanya mulai berjatuhan seiring dengan jatuhnya air dari langit.

"Apakah ini takdir yang di janjikan Tuhan? Mengapa Dia terlalu kejam kepada ku Bu? Bisakah kau tanyakan apa dosa yang telah ku perbuat pada-Nya hingga Dia menghukum ku seperti ini?" Anak itu mulai menuntut dan benar-benar terlihat sangat frustasi.

Tangannya mengusap wajahnya kasar. Ia sudah tidak memikirkan penampilannya. Di kembalikannya kertas foto itu ke dalam sakunya lalu kembali menatap air di bawahnya. Air itu mulai bercorak dan terkesan sangat dalam baginya. Warnanya yang gelap dan pencahayaan langit yang begitu minim membuat siapa saja yang melihatnya akan langsung bergidik ngeri.

Namun anak itu berbeda. Ia memiliki keinginan.

Makin di condongkannya badannya hingga melewati pembatas jembatan. Dilihatnya aliran sungai yang begitu tenang sekaligus ngeri sekilas. Tak seberapa lama, akhirnya ia memantapkan hatinya.

Anak remaja itu menaiki pembatas jembatan lalu berdiri di posisi sebaliknya dari tempatnya semula. Kini nyawanya berada di ambang batas antara hidup dan mati. Anak itu berencana melompat dari jembatan ini.

Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu melepaskan pegangannya pada pembatas jembatan.

Anak itu, Choi Hana, melompat dari atas Jembatan Mapo. Ia bunuh diri.

Untuk seperkian detik, dirinya merasa begitu ringan. Tidak ada beban di pundaknya yang menggantung lagi. Dirinya merasa seperti bulu yang terbang jauh di atas langit.

Saat air menyambut dirinya dengan kasar, mata Hana langsung tertutup. Ia pejamkan sebentar matanya lalu membuka kembali secara perlahan. Dilihatnya sekitarnya yang begitu gelap dan tenang. Hana mulai ketakutan.

Bayangan Ayahnya yang memukuli dirinya menggunakan sapu, dirinya yang menangis memohon ampun, tarikan tangan Ayahnya yang kencang pada rambutnya sambil menyeretnya ke kamar mandi, hingga teriakan Ibunya yang terkejut tiba-tiba terlintas. Ingatan mengenai emosi Ayahnya yang tidak dapat terbendung menjadi alasan terkuat Hana untuk takut.

Traumatic Disorder. | Doyoung-SejeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang