Part 1. Breaking Glass

15.5K 470 9
                                    

*****

Dengan hati - hati kaki kecil Hinata berjalan menuju ruang kerja ayahnya. Tangan - tangan mungilnya memegang nampan berisi secangkir kopi panas yang masih mengepulkan uapnya. Namun tiba - tiba secarik kertas melayang dari meja kerja ayahnya lalu tanpa sengaja terinjak olehnya hingga Hinata terpeleset lalu jatuh.

" PRUANG!! Aaahh!! " Suara cangkir yang pecah bersamaan dengan nampan yang jatuh mengiringi jeritan Hinata. Gadis kecil berumur enam tahun itu jatuh tertelungkup dengan tangan kirinya jatuh di genangan kopi panas yang sedianya akan disajikan untuk sang ayah.

" Panas sekali, Ayah.. " rintih Hinata.

Perlahan gadis kecil itu berusaha bangun sambil menangis. Sementara sang ayah berjalan menghampirinya sambil menatap putrinya dengan tatapan tajam. Perlahan dia mengambil secarik kertas yang menjadi penyebab kecelakaan yang terjadi pada putrinya.

" Kau membuat surat kontrak ayah menjadi kotor! Dan lihat akibat perbuatanmu! Tempat ini jadi kotor dan basah!! Cepat bersihkan!! " hardik sang ayah sambil menatap Hinata dengan tatapan tajam.

" Tapi tangan Hinata sakit, Ayah.. " rintih Hinata menghiba.

" Siapa suruh kau ceroboh?! Membawa kopi saja kau tidak becus!! Cepat bersihkan!! " teriak ayahnya.

" Tapi, Ayah.. "

" CEPAT BERSIHKAN!! " Teriakan meggelegar sang ayah membuat Hinata terlonjak kaget. Dengan serta merta gadis kecil itu berjongkok lalu mulai memunguti pecahan cangkir dengan hati - hati.

" Cepat!! Dasar Lamban !! " Teriakan ayahnya itu membuat Hinata kaget hingga tanpa sengaja mengeratkan genggamannya pada pecahan cangkir yang dipungutnya.

" Aaahh!! " jerit Hinata kesakitan. Darah segera mengalir dari luka di telapak tangan kecilnya.

Ayahnya melihat kejadian itu dengan kesal karena kini lantai ruang kerjanya tidak hanya tercemar noda kopi tapi juga darah.

" Kau memang tidak berguna!! Pergi ke kamarmu dan jangan keluar sebelum aku mengijinkanmu!! " teriak sang ayah dengan nada penuh kemarahan.

Hinata bangun lalu menatap ayahnya yang kini sudah kembali duduk di kursi di belakang meja kerjanya. Ayahnya itu sudah kembali sibuk dengan kertas - kertas di mejanya tanpa memperdulikannya. Hinata tersentak saat mata sang ayah tiba - tiba menatapnya. Hati Hinata serasa ditusuk melihat tatapan mata sang ayah yang penuh kebencian dan juga kemarahan padanya.

" Tunggu apa lagi?! Cepat pergi ke kamarmu!! " teriak sang ayah.

Hinata segera berlari menuju kamarnya sambil menangis. Telapak tangan kirinya terasa sangat panas dan sakit, sementara telapak tangan kanannya terasa ngilu akibat luka yang masih terus mengeluarkan darah. Hinata menyalakan kipas besar yang ada di dekat tempat tidurnya. Gadis kecil itu berbaring lalu mengulurkan tangan kirinya ke depan kipas untuk mengurangi rasa panas dan sakit yang dirasakannya.

Hinata terus menangis, bukan hanya karena rasa sakit di kedua telapak tangan mungilnya tapi juga karena sikap ayahnya. Hinata kecil tidak mengerti kenapa sikap sang ayah menjadi begitu dingin padanya sejak ibunya tiada. Sejak ibunya yang saat itu sedang hamil besar meninggal saat menyelamatkannya dari mobil yang akan menabraknya dengan mendorongnya ke pinggir jalan hingga mobil itu menghantam sang ibu yang kemudian merenggut nyawanya. Kini sang ibu sudah tiada dan saat dia ingin bermanja pada sang ayah, ayahnya itu malah bersikap dingin dan makin menjauh darinya. Hinata sudah berusaha untuk mengambil hati sang ayah dengan mengambil alih tugas sang ibu menyediakan kopi untuk sang ayah tiap pagi dan sore, juga mengerjakan pekerjaan rumah semampunya, tapi sikap sang ayah tidak juga melunak padanya. Sang ayah terlihat begitu benci dan marah padanya.

Love For HinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang