“Mengapa kau di sini?” Aileen bertanya tajam pada pemuda berjas lengkap yang bersandar santai di dinding gerbang utara universitasnya dengan kedua tangannya terlipat di depan dadanya.
“Apa kau tidak bisa senang melihatku walau hanya sedikit saja?” keluh Evans.
“Tidak, aku senang melihatmu."
“Tapi kau memasang wajah seperti itu,” Evans merujuk pada wajah curiga Aileen.
“Siapa suruh kau mengikutiku.”
“Aku tidak mengikutimu.”
“Baguslah,” Aileen melangkah pergi.
“Hei!” protes Evans mengikuti Aileen, “Apa kau tidak bisa bersikap sedikit lebih ramah padaku?”
“Bukannya kau tidak sedang mengikutiku?” Aileen sengaja bertanya tajam.
“Aku memang tidak mengikutimu. Aku menjemputmu.”
Langkah kaki Aileen langsung terhenti. “Menjemputku?” ia bertanya, “Untuk apa? Mereka tidak menyuruhmu menjemputku lagi, bukan?”
“Ya, Tuhan, Aileen,” keluh Evans, “Apa kau tidak bisa berhenti berpikir seperti itu!?”
“Tidak,” Aileen meninggalkan Evans.
“Apanya yang mudah,” gerutu Evans. Lalu ia melebarkan langkah mengejar Aileen. “Kau mau ke mana?” tanyanya mengikuti langkah terburu-buru Aileen.
“Pulang,” Aileen membenarkan tali tasnya yang hampir jatuh dari pundaknya, “Aku harus segera membantu restoran.”
“Menurut Sigrid, hari ini kau tidak punya kegiatan apa-apa seusai kuliah.”
Ternyata orang di balik semua ini adalah Sigrid. Pantas saja Evans tahu kapan pelajarannya hari ini selesai dan melalui pintu mana ia pergi.
Aileen menukar tangan menyangga buku-buku yang hampir setebal sepuluh centi itu ke dadanya.
Evans tidak sabar melihatnya. Tanpa banyak bicara, ia mengambil buku-buku itu dari Aileen dan membawanya dengan mudah di bawah lengannya. “Menurut Sigrid, hari ini kau hanya mempunyai satu mata pelajaran, mengapa kau membawa buku sebanyak ini?”
“Aku meminjamnya dari perpustakaan,” jawab Aileen. Aileen melihat bayangan mereka di estalase toko dan ia tidak dapat menahan tawanya.
“Apa yang lucu?” Evans merasa sedang ditertawakan.
“Aku terlihat seperti sekretaris dan kau adalah bosnya. Tetapi kalau kau membawa buku-bukuku seperti itu, kita jadi tidak tahu siapa yang sekretaris,” tawa Aileen terlepas lagi. Tiba-tiba Aileen menyadari sesuatu. “Mengapa kau di sini?” ia bertanya tegas.
“Sudah kukatakan, aku menjemputmu,” Evans mengingatkan.
“Bukan. Bukan itu maksudku,” Aileen menggeleng, “Mengapa kau di sini? Bukannya sekarang adalah jam kerja?”
“Aku adalah sang direktur. Aku berhak mengatur sendiri jam kerjaku.”
Aileen mendesah. “Tidak kusangka ternyata kau adalah orang yang semaunya sendiri. Aku merasa kasihan pada bawahanmu terutama sekretarismu. Ia pasti kerepotan mengatur orang yang mau menang sendiri sepertimu.”
“Aku tidak keberatan kalau kau mau menjadi sekretarisku.”
“Akan kupikirkan baik-baik,” Aileen menjawab asal.
Andai Evans serius, ia pasti akan langsung menanggapi tawaran itu. Aileen tidak akan menyangkal ia selalu kagum pada sekretaris. Sejujurnya, apabila ada kesempatan, ia ingin menjadi seorang sekretaris. Ia suka melihat seorang sekretaris cantik yang mengenakan baju resmi dan membawa tumpukan file di tangannya. Menurutnya wanita-wanita seperti itu selalu terlihat anggun dan menawan.

KAMU SEDANG MEMBACA
AILEEN (TAMAT)
Romancea Novel by Sherls Astrella sinopsis: Aileen, nama yang begitu indah. Berarti sinar dalam Irlandia dan padang rumput hijau dalam bahasa Skotlandia. Namun keduanya terasa begitu jauh dari kehidupan Aileen. Ia bagaikan anak tiri dalam keluarganya. Cint...