BAB 3

3.3K 246 9
                                    

Aileen memandang keluar melalui dinding pesawat. Ia tidak mempedulikan kesibukan para penumpang yang memasuki kabin pesawat. Dalam waktu tak sampai setengah jam ia akan meninggalkan negara kelahirannya ini lagi. Entah kapan ia akan pulang lagi. Untuk sementara ia tidak mempunyai rencana pulang dalam waktu dekat ini.

Jaman sekarang manusia sudah seperti burung. Di jaman purbakala, satu-satunya alat transportasi manusia adalah kaki, kemudian hewan, perahu, dan sekarang pesawat terbang. Manusia benar-benar seperti burung yang bebas terbang ke mana pun mereka inginkan.

Seharusnya itulah yang terjadi namun entah mengapa ia tidak dapat terbang sebebas burung di angkasa. Entah mengapa sayapnya tidak berkembang sebaik yang lain. Mungkin juga ia yang tidak menginginkannya.

Aileen mendesah.

“Mengapa kau mendesah?”

Aileen terperanjat.

Evans duduk di sisinya sambil membaca koran.

“Mengapa kau di sini?”

“Rupanya kau. Aku tidak tahu kau akan naik pesawat ini,” Evans menjawab ringan.

Aileen mencurigai Evans. Tidak mungkin ada kebetulan yang seperti ini.

Evans kembali mengalihkan pandangan pada korannya namun ia tidak dapat berkonsentrasi pada sebuah kata pun.

Sepasang mata penuh kecurigaan itu tidak melepaskan Evans.

Evans berusaha mengabaikan sepasang mata itu. Ia tidak berbohong pada Aileen untuk hal satu ini. Ia sama sekali tidak menduga Aileen akan naik pesawat ini.

Kemarin malam, ketika mengetahui tidak seorang pun di keluarga LaSalle mengetahui kepulangan Aileen, Evans sempat kesal. Ia merasa tertipu. Ia tidak berpikir banyak ketika Aileen minta diturunkan di pusat kota malam hari pernikahan Denise. Ia tidak mencemaskan Aileen pula karena ia tahu gadis itu sering berpergian seorang diri.

Evans yakin Aileen sudah terbang pergi kemarin malam tetapi itu tidak dapat menghentikan keputusannya untuk menuntut penjelasan Aileen. Karena itulah Evans sangat terkejut ketika melihat sosok Aileen yang tengah mengantri untuk check-in pesawat.

Gadis itu sama sekali tidak menyadari keberadaannya. Ia juga tidak menyadari ia tengah diikuti. Bisa dikatakan ia sama sekali tidak mempunyai kewaspadaan!

Sepasang mata itu mulai membuat Evans merasa tidak nyaman.

Pramugari memberikan pengarahan sebelum lepas landas.

“Duduklah yang baik. Sebentar lagi kita akan lepas landas,” dalam hatinya Evans bersorak gembira. Ia yakin perhatian Aileen akan teralih darinya. “Kau benar-benar mencurigakan,” komentar Aileen dan ia mengalihkan perhatian ke luar jendela.

Evans kaget. Perasaan Aileen memang tajam tetapi ia tidak yakin kecurigaannya itu akan berlangsung lama.

Dugaan Evans itu mungkin benar tetapi ia mulai kembali merasa tidak nyaman beberapa menit setelah pesawat lepas landas. Semenjak sesaat sebelum lepas landas hingga pesawat mendaki langit, Aileen tidak mengalihkan matanya dari jendela.

Merasa diacuhkan Aileen, Evans berkata, “Kupikir kau pergi kemarin.”

Aileen berdiam diri. Itu memang rencana awalnya.

“Apakah hari ini kau tidak mempunyai kelas?” Evans bertanya.

“Hari ini aku tidak ada pelajaran,” Aileen menjawab singkat. Ia tidak dalam suasana hati untuk mengobrol. Saat ini ia hanya ingin duduk diam memandang awan-awan yang memayungi daratan dengan kepala kosong.

AILEEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang