BAB 8

2.1K 187 3
                                    

Aileen menatap gaun yang ia gantung di sebelah cermin besarnya dengan terpesona. Tangannya menyentuh kainnya yang lembut dengan hati-hati. Jahitannya yang rapi membuatnya kagum. Rok panjangnya yang jatuh lembut membuatnya tidak dapat tidak menyukai gaun ini. Potongannya yang anggun membuatnya kian jatuh hati pada gaun itu.

Evans benar-benar mengerti seleranya. Evans tahu ia menyukai gaun yang jatuh lembut dan merumbai-rumbai seperti ini. Evans paham ia tidak suka potongan yang berlebihan. Namun…

Aileen putus asa. Evans tahu ia tidak suka mengenakan baju yang terbuka namun ia masih memberinya gaun ini.

Ia menyukai gaun hitam polos ini. Ia menyukai rok panjang sutranya yang dilapisi kain sifon berwarna senada. Tapi ia tidak menyukai atasannya yang tanpa lengan, tanpa bahu. Bahkan kerutan di bagian depan dapat dipastikan akan menonjolkan bentuk dada pemakainya.

Mengapa Evans membeli gaun seperti ini untuknya? Bagaimana Evans mengharapkan ia muncul dengan gaun ini? Bagaimana ia harus menutupi bagian tubuhnya yang terbuka? Gaun ini bahkan tidak dilengkapi syal sifon hitam yang dapat digunakannya untuk mencegah pandangan orang tertuju pada dadanya.

Aileen melihat jam yang tergantung di dinding. Sekarang ia tidak punya waktu untuk membeli gaun. Kalaupun ia dapat, Evans tidak akan senang. Aileen tidak mengerti akan dirinya sendiri. Di luar ia terus menegaskan ia tidak tertarik atas undangan ini namun matanya tidak henti-hentinya melihat jam. Mulai dari Sigrid hingga Leopold menyadari kebiasaan barunya ini tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa. Hanya Aileen seorang yang tidak menyukainya. Demi menekan perasaan tidak sabarnya, Aileen dengan sia-sia mencegah dirinya terus memperhatikan betapa lambatnya waktu berlalu hari ini.

Sigrid benar. Ia tidak sabar menantikan saat ini.

Akhirnya ketika waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat, ia sudah selesai mandi. Ia siap berdandan cantik untuk pesta sore ini namun ia kehilangan minatnya. Malah, ia berharap Evans tidak pernah datang.

Tetapi… itu tidak mungkin bukan? Tengah hari tadi Evans sudah menelepon untuk mengingatkannya. Beberapa saat lalu Evans kembali meneleponnya hanya untuk mengingatkan ia harus mengenakan gaun yang diberikannya.

Aileen mendesah putus asa. Tahu ia tidak punya pilihan, maka ia pun segera mempersiapkan diri.

Di kesempatan biasa ia hanya memerlukan lima belas menit untuk berdandan. Tetapi kali ini ia merasa satu setengah jam tidak cukup. Ia sudah mencoba beberapa tatanan rambut tetapi ia tetap tidak menemukan satu tatanan pun yang cantik dan dapat menutupi pundaknya yang telanjang. Ketika waktu hanya tinggal setengah jam, Aileen memutuskan untuk membiarkan rambutnya terurai.

“Aku tidak peduli komentar Evans,” Aileen menegaskan pada dirinya sendiri, “Ia harus berterima kasih aku sudah berdandan untuknya.” Tetapi hatinya berdebar-debar keras ketika ia melangkahkan kaki untuk menemui Evans.

Evans menyambut Aileen dengan senyumannya.

Matanya memperhatikan Aileen yang berjalan mendekat dengan anggun. Tubuh sempurna Aileen terbungkus oleh gaun yang menawan. Warnanya yang hitam membuat kulit putih Aileen tampak kian putih. Potongan gaun itu membuat pinggang Aileen yang ramping tampak kian ramping dan menonjolkan dadanya yang montok. Aileen adalah gadis yang kurus namun ia memiliki buah dada yang diidamkan banyak wanita. Pasti Aileen akan membuat banyak wanita iri padanya.

“Sudah kuduga gaun ini cocok untukmu,” Evans mengulum senyum gembiranya.

Aileen tidak gembira mendengarnya. Tetapi dadanya yang bersemi berdebar keras.

“Namun,” seperti biasa Evans tidak pernah melupakan protesnya, “Mengapa rambutmu hanya begini?” ia memegang rambut Aileen yang terurai hingga pinggangnya tanpa satu hiasanpun.

AILEEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang