Seharusnya semuanya tidak begini. Terasa membosankan Bagi seorang Naya yang tampak sederhana. Dia tak memerlukan Keadaannya dikeluarganya. Tidak seharusnya Naya merasa sepi di tengah-tengah keluarga. Merasa asing dengan semuanya,ia tak tahu harus berkata apa.
Sudah pukul enam tepat matahari pun masih enggan untuk menampakkan wujudnya. Namun entah mengapa rasanya ia ingin berangkat pagi-pagi,tidak ingin bertemu dengan keluarganya yang membuat ia merasa asing.
Dengan seragam sekolah yang sudah menempel ditubuhnya. Naya memakan roti yang ia beli di minimarket kemarin. Ia menuliskan pesan dikertas berwarna biru tipis itu. Isinya pamit kesekolah agar mereka tidak heboh. Ia menaruhnya dibawah pintu kamar mamah dan papahnya.
Hari-harinya tampak biasa saja. Tak ada yang mampu membuatnya berbeda. Hambar,semuanya kelabu. Jika Naya seorang pelukis tentu saja ia akan mewarnai hidupnya sebagus mungkin. Menarik.
Dengan langkah gontai ia membuka pagar rumahnya. Dengan tas yang masih menempel pada pundak kirinya. Kedua tangannya tengah berdansa. Ipod yang menempel ditelinga memberikan alunan-alunan musik. Sekarang ia tak perduli bahwa gendang telinganya akan rusak. Melepas rasa tak nyaman,jengah dengan musik yang volumenya full. Semua orang pasti pernah merasakan dimana titik puncak kesabaran,kekuatan. Sekarang Naya merutuki dirinya sendiri yang sedang duduk dipojok Kiri bangku. Ia menunduk,kedua matanya terus menatap ujung kaki. Sudah dari kapan air matanya mengalir. Naya mengelap pipi yang basah itu dengan lembut dan cepat. Penumpang sedikit renggang tidak seperti tadi yang berdesak-desakkan.
Naya turun dari angkot ketika sudah sampai pintu gerbang tempat anak bangsa menuntut ilmu.
Suasana sekolah masih sangat sepi hanya ada beberapa siswa yang rata-rata cewek.
Naya memasuki kelasnya meletakkan tas kemudian menangkupkan wajahnya pada meja. Tidak terasa sekarang sudah kenaikan kelas,mungkin setelah pembelajaran dimulai.
Beberapa Siswa sudah memasuki kelas. Membicarakan apakah membawa orang tua atau tidak. Iya hari ini pembagian rapot. Seperti biasa tidak ada yang mengambil rapotnya kecuali dirinya sendiri. Ada rasa iri terrhadap siswa yang lain. Senakal apapun anaknya orang tua pasti datang. Ia memang sengaja tidak memberitahu mamah atau yang lainnya. Ia hanya sudah capek berharap bahwa ada manusia yang perduli dengannya. Sudah beberapa kali Naya memberitahunya namun tetap saja seperti ini.
Jika diingat hubungan Naya dan Barra tak seperti dulu. Entah mengapa ia tak melihat Manusia yang membuatnya terkagum. Terakhir kalinya saat makan es crim dicafe. Namun bukan itu yang membuatnya tidak bersemangat dan juga bertemu orang rumah. Ia hanya ingin menjauh dari orang yang ia sayang. Ia merasa tidak pantas berada diantara mereka. Mereka terlalu sempurna bagi Naya. Mereka akan bahagia tanpanya. Ia sangat yakin.
Masih dalam keadaan yang sama. Naya masih menangkupkan wajahnya. Memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini. Ia tidak mau merepotkan siapapun. Ia harus bisa berdiri dengan kakinya sendiri tanpa ada satu orang pun,tanpa ada tongkat bahkan kursi roda. Ia tak perlu menunjukkan lukanya. Buatnya cukup tuhan yang mengetahui rasa kecewanya.
Hingga pada akhirnya sebuah tangan kekar menepuk pundaknya,memberhentikan semua pemikirannya. Naya sangat tahu siapa yang menpuk pundaknya. Maka dari itu ia lebih memilih tidak merespon atau berpura-pura tertidur. Toh semalem ia tidak tidur.
Tidak mendapatkan respon dari perempuan dihadapannya,ia kembali menepuk seraya bersuara dengan lembut.
"Nay"Suara serak itu membuat Naya semakin yakin siapa pemiliknya.
Sungguh dapat dorongan dari mana Naya untuk mendongakkan kepala pada sipemilik suara yang mengganggu imajinasinya.
Naya berusaha tersenyum. Kali ini tidak begitu lebar yang biasanya memperlihatkan giginya. Ia hanya tersenyum sangat tipis.
![](https://img.wattpad.com/cover/160681269-288-k337912.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
She's Mine
Teen Fiction"Dia milik gue bukan Milik loh"Teriak Barra. "Hahaha itu kan baru menurut loh"Ucap Zain sambil berjalan meninggalkan Barra. "Sadar diri aja Zain"Ucap Barra pada Zain yang sudah lumayan jauh meninggalkannya.