duabelas; Tangan.

2K 283 7
                                    

Tuk. Tuk.

Minjae baru saja akan menuangkan air ke dalam gelasnya, sebelum suara ketukan di pintu masuk rumah membuat kegiatan tersebut terhenti mendadak.

Ia mengernyit bingung. Pasalnya saat ini angka di jarum jam sudah menunjuk pada sebelas malam. Mustahil bahwa teman-temannya bertamu selarut ini karena biasanya tidak pernah lebih dari jam sepuluh ketika berkunjung, kecuali jika libur.

"Eh? Taetae Hyung?"

Kejutan.

Minjae tidak menduga bahwa yang mengetuk pintu adalah tetangga di sebelah rumahnya sendiri, si Hyung kesayangan. Pemuda manis tersebur terlihat lebih pucat dari biasanya, sebuah ransel melekat pada punggungnya membuat tanda tanya besar dalam kepala Minjae.

"Jae-ah, boleh aku menginap disini? Hanya satu malam. Tidak lebih."

Minjae sudah pasti tidak akan pernah menolak permintaan orang di hadapannya ini, terlebih lagi dengan kondisinya yang seperti ini. Minjae tersenyum, membuka pintu rumahnya lebar-lebar mempersilahkan Taehyung untuk masuk.

"Lebih dari satu malam juga tidak akan kutolak, Hyung. Ayo, masuk dahulu."

____________________

"Ada yang aneh dari rumahku."

Minaje menggeser cangkir teh hangat ke hadapan Taehyung yang masih dalam keadaan pucat. Mulai bercerita dengan gemetar, lalu duduk di salah satu sofa. "Aneh bagaimana?"

"Jika kuceritakan, kau pasti akan menganggapku gila, Jae. " Taehyung hela nafasnya, terdengar amat berat. "Kejadiannya benar-benar tidak bisa dinalar."

"Tae Hyung," Minjae membalas dengan nada yang terdengar lembut. "Bahkan jika kau menceritakan tentang hal yang paling gila di dunia ini pun, aku akan tetap percaya padamu. Di semesta ini juga ada hal-hal yang tidak bisa dimasuki oleh akal manusia, Hyung."

Taehyung tampak terkekeh, rona pucat berangsur hilang seiring teh yang diseruputnya pelan.

"Jadi, hal aneh apa yang terjadi dirumahmu?"

____________________

Taehyung menggeliat di atas kasur.

Tak lama kemudian membuka mata dan beranjak duduk. Menyadari dirinya berada di kamar tamu rumah Minaje. Tetangganya berkata untuk menginap sampai kapanpun Taehyung mau, mengingat orang tua Minjae yang jarang sekali berada di rumah, pemuda setahun lebih muda darinya tersebut juga terlihat sama sekali tidak keberatan akan keberadaan Taehyung di rumahnya.

"Hh, butuh minum."

Mengusak rambutnya pelan, Taehyung beranjak keluar dari kamar. Lampu ruang tengah menyala, begitu juga dengan area dapur. Ingat akan perkataan Minjae mengenai ia selalu menghidupkan semua lampu saat malam, alasannya karena pemuda tersebut hanya malas mematikan semuanya satu per satu ketika ingin tidur dan hanya membiarkannya menyala.

Taehyung meneguk airnya hingga tandas, kerongkongannya seketika dihinggap rasa lega luar biasa.

"Semoga saja rasa kantuk menderaku sekarang juga."

Lampu dapur berkedip dua kali.

Dalam tiga detik, Taehyung disergap kegelapan.

Mendadak hawa dingin menyentuh tengkuknya, membuat Taehyung seketika meremang. Perubahan suhu yang mendadak dingin membuat perasaannya semakin tidak enak.

Rasanya seperti ditarik pada dimensi lain, walau masih pada tempat yang sama.

Krakk. Krakk.

Taehyung membeku.

Suara seperti permukaan kaca yang dicakar dari arah luar.

Taehyung reflek menoleh pada jendela dapur yang mengarah langsung pada halaman belakang rumah Minjae.

Mematung saat menangkap bayangan sepasang tangan di sana.

Penuh darah dan lumpur, disertai kuku-kuku yang panjang. Menggaruk-garuk kasar bagian kaca jendela, meninggalkan jejak-jejak goresan panjang.

Taehyung menutup mata, membatin dengan nada yang sangat memohon.

"Seseorang, kumohon, tolong.."

Taehyung tersentak kecil, segera membuka matanya saat sepasang tangan dengan kuku panjang tersebut berhenti menggaruk permukaan kaca, beringsut pelan, kembali sembunyi dalam kegelapan malam.

Kaki Taehyung melemas, bersandar pada bagian dinding island. Perlahan juga suasana di dapur tersebut menjadi lebih hangat dan hidup, ketimbang beberapa saat yang lalu.

Ia menghela nafas panjang.

"Terima kasih, siapapun itu."

____________________

"Spike!"

Seketika Taehyung berhenti berjalan, mendapati Jeongguk yang terlihat akan menghampirinya saat menoleh. Merotasikan bola matanya malas.

"Namaku masih Taehyung."

"Aku tau, tapi kemarin kita sudah sepakat untuk memanggilmu spike sebagai nama panggilan, benar?"

"Apa-apaan? Aku tidak—"

"Nah, kau melupakannya. Itu artinya spike adalah panggilan resmi dariku mulai hari ini. Ngomong-ngomong, ingin berjalan bersama ke kelas, spike?"

"OY– kUBILANG UNTUK JANGAN—"

"Jeon Jeongguk, kau masuk hari ini ternyata. Kemana saja dua hari ini? Membolos lagi?"

Jimin datang tanpa diundang.

Memotong protesan Taehyung, memilih berdiri disampingnya, membuat posisi Taehyung terperangkap di tengah dua pemuda yang merecokinya.

"Aku rasa kau tidak perlu tau apapun alasannya, Park."

"Menyebalkan seperti biasanya."

Jimin lalu menatap Taehyung dan Jeongguk bergantian, seketika alisnya berkerut. "Sebentar, aku baru sadar jika kalian berjalan bersama sejak dari gerbang tadi, kau mengenal Jeon sialan Jeongguk ini, Tae?"

Jeongguk mendengus saat namanya ditambah kalimat menyebalkan dari Jimin, sedang Taehyung mengangguk sebagai jawaban.

"Ya, aku bertemu dengannya kemarin, sedang terluka. Karena kasihan jadi berikan plester dan juga—"

"Jangan lupa ceritakan bagian dimana kau pingsan di halte, spike. Termasuk juga bagian kau menamparku padahal kau baru saja bangun dari pingsanmu."

Taehyung teguk salivanya kasar. Ingin sekali membungkam mulut bocor Jeongguk dengan sepatu.

Padahal Taehyung tidak berminat menjelaskan apalagi menyenggol hal itu, lebih tepatnya tidak ingin ada orang lain yang tau tentang kejadian kemarin.

Sebelum Taehyung kembali membuka mulut, Jeongguk lagi-lagi bicara.

"Dan bagian dimana kau memakan brokoli pertamamu di rumahku juga terdengar menarik untuk diceritakan, betul kan spike?"

Jeongguk dengan seringaiannya dan Jimin dengan mulut ternganga.

Taehyung hanya ingin bumi menelannya saat ini juga.

____________________


𝐈𝐍𝐃𝐈𝐆𝐎; 𝐒𝐎𝐔𝐋 𝐄𝐀𝐓𝐄𝐑. [KookV] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang