8

6.3K 299 1
                                    

Seno menghentikan mesin motornya begitu tiba di depan gerbang rumah Vania. Cowok itu membuka helm hitam yang melindungi kepalanya, lalu menatap rumah Vania agak lama. Cowok itu menghembuskan napas berat. Ada perasaan takut yang merayap di dadanya. Takut jika Vania menolaknya.

Seno mengetuk pelan pintu berwarna coklat tua itu. Pintu depan rumah Vania.

"Eh Seno." Yang menyapanya bukanlah Vania, melainkan ibu Vania.

"Pagi Tante. Gimana kabarnya, Tan?" Tanya Seno sopan seraya menyalami tangan ibu Vania. Seno memang sudah mengenal kedua orang tua dan adik-adik Vania. Selama mereka berpacaran, Seno pernah beberapa kali mengunjungi rumah Vania.

"Baik. Alhamdulillah. Kamu sendiri gimana? Udah jarang main kesini." Seno tersenyum kecil menanggapi pernyataan ibu Vania. Tentu saja jarang. Toh dia tidak memiliki alasan apapun lagi untuk menemui Vania.

"Baik juga, Tan. Akhir-akhir ini bengkel rame. Seno jarang pergi main. Bantuin Ayah," kata Seno beralasan, namun tidak sepenuhnya bohong.

"Ya harus gitu. Bantu orang tua sebisa kita. Seno mau cari Vania ya?"

"Iya Tan. Sekalian mau ngajak ke sekolah bareng. Vania belum berangkatkan, Tan?" Tanya Seno khawatir. Ia takut usahanya pagi ini sia-sia jika Vania sudah pergi duluan ke sekolah.

"Belum. Kebetulan hari ini Papanya nggak bisa ngantar. Awalnya dia mau naik ojek online aja. Tapi kalau ada Seno, Tante lebih percaya sama Seno. Ayo masuk dulu." Ibu Vania menggiring Seno memasuki rumahnya.

"Van, ada Seno nih," kata ibu Vania ketika mereka sampai di ruang makan. Tubuh Vania spontan membeku, tetapi berbanding terbalik dengan kedua adik Vania yang terlihat senang dengan kedatangan Seno.

"Kak Seno!" pekik Rian dan Nino kompak. Sudah cukup lama Seno tidak mengunjungi mereka dan mengajak mereka bermain.

"Hai boys. Udah lama banget Kakak nggak ketemu kalian." Seno melakukan high five dengan mereka satu persatu, lalu duduk di salah satu kursi setelah dipersilahkan oleh ibu Vania.

"Kak Seno sih, nggak pernah main kesini lagi," kata Rian.

"Maaf. Kakak sibuk ngurusin bengkel. Lain kali Kakak bakal kesini dan kita main bareng lagi," janji Seno yang membuat Vania membulatkan matanya. Seno akan datang lagi? Apa-apaan!

"Yan, No. Habisin sarapannya. Ntar kalian telat lho," tegur ibu Vania. Rian dan Nino kembali asik dengan sarapan mereka walau sesekali masih mengajak Seno berbicara.

"Kamu berangkat sama Seno aja, belum pesan ojek online kan?" Vania tersedak begitu mendengar penuturan ibunya. Kehadiran Seno pagi ini di rumahnya sudah membuatnya cukup terkejut. Sekarang ditambah Seno akan mengantarnya ke sekolah. Seno sehat?

"Aku naik ojek online aja, Ma," kata Vania.

"Lho Seno udah disini. Bareng Seno aja perginya."

"Baren gue aja, Van. Gue sengaja jemput lo kok." Vania terdiam. Jika keadaan sudah seperti ini, mau tidak mau ia harus berangkat ke sekolah bersama Seno.

"Lebih aman bareng sama Seno lagian. Mama suka khawatir kamu naik ojek online gituan, Van. Ntar dibawa kabur gimana," gidik ibu Vania ngeri. Wanita itu memang masih takut melepas anak-anaknya menaiki kendaraan umum seperti itu.

"Aman kok, Ma. Insyaallah. Kan aku juga udah biasa naiknya," kata Vania.

"Ya udah. Sekarang sama Seno aja. Kasian Seno udah bela-belain jemput kamu kesini." Vania hanya mengangguk. Ia menghabiskan sarapannya, lalu pamit pada ibunya dan kedua adiknya. Tanpa berbicara pada Seno sedikitpun.

"Seno pamit ya, Tan. Yan, No, Kakak berangkat dulu," pamit Seno sebelum menyusul Vania yang sudah berjalan keluar duluan.

"Van," panggil Seno. Tapi Vania terus melangkah hingga berhenti tepat di samping motor Seno.

"Kenapa?" Tanya Vania tiba-tiba begitu Seno berdiri disampingnya.

"Kenapa apa?" Seno mengkerutkan keningnya. Bingung dengan pertanyaan Vania yang tidak jelas.

"Kenapa tiba-tiba datang? Kenapa muncul lagi?" Tanya Vania beruntut. Ia menatap cowok yang berusaha ia lupakan itu dengan tatapan tajam. Vania sedang berusaha melupakan Seno. Tapi kenapa cowok itu malah datang lagi?

"Kita nggak bakal bahas itu disini dan sekarang. Kita ke sekolah. Gue nggak mau kita telat." Seno mengambil helm yang dulu selalu Vania gunakan ketika mereka masih berpacaran. Seperti kebiasaan mereka dahulu, Seno memasangkan helm itu ke kepala Vania.

"Gue bisa sendiri," bantah Vania ketika Seno akan memasangkan kaitan di helm. Namun Seno tidak peduli. Cowok itu terus saja melakukan pekerjaannya.

"Nah udah. Yuk naik." Seno menepuk sekilas puncak helm itu. Lalu menaiki motornya. Vania membeku ditempatnya. Ia merasa de javu. Dulu, setiap pagi mereka akan selalu seperti ini.

"Ayo Van. Kok malah bengong," kata Seno karena Vania tidak kunjung menaiki motornya.

"I..."

"Vania." Vania dan Seno sontak menoleh begitu mendengar seseorang memanggil Vania. Dia Bintang. Cowok itu memanggil Vania dari dalam mobilnya.

"Eh hai Bi," sapa Vania canggung. Ia tidak menyangka akan bertemu Bintang pagi ini. Apalagi ada Seno disini.

"Ngapain lo kesini?" Tanya Seno agak ngegas yang membuat Vania menatap Seno aneh.

"Mau jemput Vania," jawab Bintang enteng.

"Nggak perlu! Mulai dari sekarang Vania berangkat bareng gue. Ayo Van." Seno menarik tangan Vania agar cewek itu segera duduk di jok motornya. Vania yang tidak siap hanya bisa menuruti keinginan Seno.

"Gue peringatin sama lo, Bintang. Nggak usah urusin Vania lagi. Gue nggak mau Vania diapa-apain Lala, cewek lo itu." Setelah memberi ultimatum pada Bintang, Seno menggas motornya menuju sekolah. Vania masih terdiam dalam posisi bingung. Tadi itu apa?

"Maksud lo apaan sih, Sen?" Tanya Vania agak berteriak setelah kesadarannya kembali.

"Pegangan Van. Jangan banyak tingkah. Gue nggak tanggung jawab kalau lo sampai jatuh," ancam Seno dengan nada datar. Vania menutup mulutnya ketika Seno makin kencang mengendarai motornya. Cowok itu menembus jalanan yang ramai pagi ini dengan cepat.

***
Begitu sampai di sekolah, Vania buru-buru turun dari motor Seno dan membuka helm. Iya tidak mau Seno yang membukanya, seperti apa yang mereka lakukan dahulu. Bagi Vania, ceritanya dengan Seno telah berakhir setelah Seno memutuskan untuk meninggalkannya. Jadi tidak perlu ada reka adegan ulang yang hanya akan membuat Vania makin sakit.

"Makasih tumpangannya. Lain kali nggak usah jemput. Gue bisa sendiri," kata Vania ketus. Ia hendak berbalik ketika merasakan Seno menahan tangannya.

"Kenapa? Karena Bintang yang jemput lo?"

"Ini semua nggak ada hubungannya sama Bintang, Sen! Gue bahkan nggak tau Bintang mau jemput gue. Lo nggak ingat sama yang lo bilang, Sen? Kita udah selesai. Jadi lo nggak usah muncul lagi dihadapan gue," tekan Vania. Seno menatap wajah cewek yang dicintainya itu dalam diam. Matanya, terdapat selaput tipis kaca disana.

"Nanti setelah pulang sekolah, gue tunggu lo disini."

"Nggak! Gue nggak mau," tolak Vania. Ia benar-benar tidak ingin punya urusan dengan Seno lagi.

"Gue mohon, Van. Kalau lo nggak datang, jangan salahin gue untuk apa yang akan gue lakuin di hari selanjutnya."

*tbc

Love,
Vand🦋

VaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang