Sembilan (End)

4.4K 132 24
                                    

Akhirnya tiba hari dimana Vania harus bertemu Seno, lagi. Setelah beberapa hari Vania berhasil menghindar, disengaja maupun tidak.

Setelah menginap di rumah Nora pada Sabtu malam, Vania berhasil menghindari Seno di hari Minggu ketika cowok itu bertamu ke rumahnya. Vania beralasan tidak enak badan dan meminta Seno untuk pulang lewat ibunya. Tapi seperti kata orang-orang, perkataan adalah doa. Senin hingga rabu, Vania terkena demam sehingga tidak masuk sekolah. Ntah Vania harus bersyukur atau tidak, dia jadi punya waktu tambahan untuk menghindari Seno.

Tapi bagaimanapun juga Vania berusaha menghindar, akan datang waktu dimana dia harus bertemu Seno dan menyelesaikan permasalahan diantara mereka. Yap hari ini, hari kamis, Vania sudah sehat dan bisa masuk sekolah lagi. Artinya dia juga bertemu lagi dengan Seno, setelah menghindar selama empat hari.

"Van."

Baru saja Vania menginjakan kaki di kelasnya, Seno sudah menghampirinya dengan wajah yang berantakan. Wajahnya terlihat muram dengan kantong mata yang menghitam. Vania jadi bertanya-tanya apa yang terjadi pada Seno selama mereka tidak bertemu empat hari terakhir.

"Hm."

"Gue mau jelasin masalah yang kemarin. Gue–"

"Sen, kita omongin semuanya nanti ya? Setelah pulang sekolah. Gue janji kita bakal nyelesein semua masalah yang ada diantara kita hari ini. Tapi nanti, bukan sekarang. Gue mau fokus ngejar ketinggalan gue selama absen tiga hari," pinta Vania lembut. Seno hanya mampu mengangguk, menuruti keinginan cewek itu. Perpaduan suara lembut dan tatapan penuh permintaan milik Vania adalah kelemahan Seno.

"Oke. Kita bicarain semua nanti."

Vania mengulum senyum lalu menuju kursinya. Nora tidak terlihat dan tasnya juga belum ada. Tandanya Nora belum datang. Vania meletakan tasnya di atas meja, lalu mengambil beberapa buku. Dia akan meminjam catatan teman yang duduk diseberangnya mengenai pelajaran kemarin. Namun, sebelum Vania memanggil temannya itu, Bintang tiba-tiba meletakan beberapa kumpulan kertas di meja Vania.

"Ini catatan gue yang gue fotokopiin buat lo. Semua pelajaran yang lo ketinggalan, udah ada disana. Maaf kalau tulisan gue nggak terlalu rapi."

Vania terperangah bolak-balik melihat tumpukan kertas yang Bintang berikan dan wajah cowok itu. Bintang memutar kursinya, agar bisa duduk berhadapan dengan Vania.

"Kenapa? Kok mukanya kaget gitu?"

"Lo kenapa ...." Vania tidak bisa melanjutkan ucapannya. Benar-benar merasa terkejut dan speechless dengan perlakuan cowok dihadapannya ini.

"Gue ngasih lo ini biar nggak susah-susah minjem catatan orang lain. Lo juga nggak perlu nyalin ke buku lo. Cukup di steples aja," kata Bintang ringan. "Tapi kalau lo kesusahan baca tulisan gue, lo tanya langsung aja ke gue. Gue takut lo nggak bisa bacanya."

Vania mengambil hasil fotokopian catatan Bintang dan memeriksanya. Semua catatan pelajaran yang Vania ketinggalan lengkap ada disana. Tulisan Bintang juga tidak terlalu jelek. Bahkan tergolong rapi untuk ukuran soerang cowok.

"Makasih ya, Bi. Gue ngerepotin lo lagi."

"Nggak kok, Van. Lagian gue sendiri yang mau. Maaf ya udah bikin lo kaget."

"Ngapain lo yang minta maaf? Gue yang makasih banget tahu." Vania memukul pelan lengan Bintang, tidak paham dengan pemikiran cowok super baik ini.

"Gimana keadaan lo? Udah sehat?" tanya Bintang.

"Udah alhamdulillah. Sebenarnya udah sehat dari kemarin, tapi belum boleh masuk sekolah sama bokap. Katanya istirahat dulu."

"Bagusan gitu. Biar kondisi lo benar-benar fit. Takutnya malah sakit lagi kalau belum benar-benar fit."

VaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang