Setelah mengisi perut di warung bakso Pakde, Seno mengajak Vania jalan ke alun-alun. Vania manut saja, karena jika ditanya dia maunya kemana, cewek itu juga bingung.
"Pakai jaket gue nih. Udah mulai dingin." Seno menyampirkan jaket jeansnya di bahu Vania sebelum mereka naik ke atas motor. Tubuhnya tinggal dibalut kaos hitam berlengan panjang dan celana jeans biru.
"Eh, nggak usah. Lo aja," tolak Vania. Dia hendak melepaskan jaket Seno dari bahunya tapi buru-buru dihalang oleh Seno.
"Nggak papa, Van. Lo pake aja. Baju gue lengan panjang kok. Nggak bakal kedinginan." Vania akhirnya menurut. Dia memakai dengan benar jaket Seno. Jaket Seno agak kebesaran di tubuhnya sehingga tubuhnya tenggelam di jaket cowok itu. Samar, Vania mencium bau parfum Seno yang masih tertinggal di jaketnya.
Sepuluh menit kemudian mereka sampai di alun-alun. Suasana alun-alun terlihat ramai dan ada banyak pedagang kaki lima yang berjualan. Mulai dari jualan makanan hingga pernak-pernik. Vania tersenyum senang melihatnya. Dari dulu Vania memang suka mengunjungi alun-alun.
"Mau beli sesuatu nggak?" tanya Seno setelah menyimpan helm mereka. Cowok itu memperbaiki posisi jaketnya yang agak miring di tubuh Vania.
"Eh." Vania jadi salah tingkah sendiri menyadari jaraknya dan Seno terlalu dekat. Perlahan, cewek itu memundurkan tubuhnya agar memberi jarak lebih. "Mau cari minuman aja."
"Milkshake?"
"Boleh."
Vania dan Seno jalan beriringan dalam diam. Tidak ada satupun yang membuka pembicaraan diantara mereka. Vania menikmati suasana alun-alun dengan memperhatikan sekitarnya, sedangkan Seno tampak berpikir.
Apa Vania sedang mengingat kenangan mereka seperti yang Seno lakukan saat ini?
Kira-kira itulah yang Seno pikirkan. Seno penasaran dengan apa yang Vania rasakan saat ini karena cewek itu terlihat biasa saja. Tidak terkejut seperti di warung bakso Pakde tadi.
"Mau pesan rasa apa, Sen?" tanya Vania ketika mereka sampai disalah satu pedagang yang menjual milkshake.
"Coklat," jawab Seno. Vania mengangguk lalu menyebutkan pesanan mereka pada si pedagang. Sembari menunggu pesanan mereka siap, mereka berdua duduk di kursi yang banyak tersebar di sekitar alun-alun.
"Lo masih suka tempat ini?" tanya Seno memulai topik pembicaraan.
"Iya. Gue selalu ajak dua adik gue kesini. Lumayan bisa wisata kuliner enak dan murah," jawab Vania seraya terkekeh.
"Nggak ada gue, gantinya lo narik dua adik lo ya?" Seno bermaksud bercanda, bukan menyindir. Tapi Vania seperti menangkap candaan Seno dengan maksud lain. Buktinya cewek itu hanya diam, tidak menanggapi Seno setelahnya.
"Van, maksud gue bukan gitu. Gue cuma bercanda," kata Seno panik. Dia takut candaannya barusan menyakiti hati Vania.
"Ya gue mau ajak siapa lagikan kalau bukan mereka berdua?"
Seno menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dalam hati dia merutuki mulutnya yang asal bicara.
"Mau beli permen kapas nggak, Van? Gue udah lama nih nggak makan begituan," ajak Seno mengalihkan suasana. Dia tidak nyaman dengan suasana canggung yang dia ciptakan sendiri.
"Boleh. Gue juga udah lama nggak makan itu. Tiap kesini gue belinya makanan asin sama minuman doang."
"Nggak takut gendut makan makanan manis malam begini?" goda Seno.
"Nggaklah. Sejak kapan seorang Vania takut gendut?" Seno terkekeh membenarkan. Vania adalah salah satu dari minoritas cewek yang dia temui yang tidak takut gendut. Soalnya badan cewek itu yang memang tidak gampang melar, sebanyak apapun dia makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vania
Teen FictionVania tidak mengerti kenapa Seno memutuskannya secara tiba-tiba. Disaat hubungan mereka baik-baik saja dan tidak ada masalah. Saat ditanya alasannya, Seno tidak memberi jawaban apapun sama sekali. Belum selesai dengan patah hatinya karena diputuskan...