9 (End)

9.6K 311 32
                                    

Seno benar-benar menepati janjinya. Cowok itu menunggu Vania di atas motornya begitu bel pulang berbunyi. Sudah terhitung setengah jam Seno menunggu, tapi Vania masih belum muncul juga.

"Kemana sih dia?" gumam Seno. Sesekali ia melihat jam tangan hitamnya di pergelangan tangan kiri.

"Apa mau lo?" Seno tersentak kaget begitu mendengar suara Vania. Cewek itu menatapnya datar dan malas. Tidak ada lagi tatapan bersemangat dan menggebu seperti dahulu ketika mereka masih bersama.

"Kita nggak bicara disini. Ayo naik." Seno akan memasangkan helm ke kepala Vania ketika cewek itu malah menahan tangannya.

"Disini aja. Gue mau semuanya cepat selesai dan jelas," tolak Vania.

"Lo yakin mau bicara disini dan kita jadi pusat perhatian orang-orang?" Vania mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Meski bel pulang sudah berbunyi sejak tadi, nyatanya masih banyak siswa yang berkeliaran di sekitar sekolah.

"Ya udah," pasrah Vania. Seno tersenyum lalu memasangkan kembali helm ke kepala Vania. Cowok itu lalu merapikan beberapa rambut yang keluar dari helm sehingga tidak lagi menutupi wajah Vania.

"Ayo naik." Vania naik dalam diam. Ia memegang erat sisi belakang motor Seno. Menolak memegang tas ataupun memeluk perut cowok itu. Seperti dahulu yang biasa ia lakukan.

Selama di perjalanan, tidak ada satupun dari mereka yang membuka mulut. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.

Sekitar lima belas menit kemudian, motor Seno tepat berhenti di pinggir pantai. Vania terdiam. Pantai ini, tempat Seno menyatakan cintanya beberapa bulan yang lalu.

"Untuk apa kita kesini?" tanya Vania tidak suka. Ia tidak mau lagi mengingat ataupun mengulang apapun tentang Seno. Vania hanya ingin terlepas dari semua kenangan tentang cowok itu.

"Turun dulu. Kita bicara disini." Seno turun dari motornya lalu membantu Vania membuka helmnya. Setelah itu Seno membimbing Vania untuk mendekat ke arah pantai. Pasir lembut menyambut mereka ketika kaki berlapis sepatu itu menginjak kembali disana.

"Duduk disini." Seno menarik Vania agar duduk di sebelahnya. Pas dibawah pohon kelapa yang melindungi mereka dari sinar matahari yang tidak terlalu terik di siang menuju sore ini.

"Sebutin mau lo, Sen." Seno terkekeh mendengar Vania yang begitu frontal. Cewek itu tidak banyak basa-basi. Ia seperti jengah lama-lama bersama Seno dan ingin segera pergi dari tempat itu.

"Lo ingat tempat ini?" Mulai Seno. Vania hanya terdiam. Sama sekali tidak mau menjawab. "Tentu lo ingat. Tempat ini adalah saksi mulainya kebersamaan kita. Pas di bawah pohon ini."

"Nggak usah ungkit apapun lagi tentang kita yang dulu. Kita udah selesai, Sen. Persis seperti apa yang lo bilang pas mengakhiri hubungan kita. Gue harap lo masih megang perkataan lo itu," kata Vania. Seno menoleh. Menatap cewek itu dalam.

"Kenapa? Apa karena lo marah sama gue? Lo benci karena gue mutusin lo tiba-tiba?"

"Gue rasa gue nggak perlu ngejawab pertanyaan lo," balas Vania acuh. Cewek itu memalingkan pandangannya. Menatap hamparan laut luas.

"Gue tau gue salah. Gue tau gue bodoh. Gue udah nyakitin lo sedemikian rupa tapi gue masih berani liatin diri di depan lo. Gue, gue masih sayang sama lo, Van. Sayang banget." Vania bagai disambar petir di siang bolong begitu mendengar perkataan Seno. Cowok itu. Cowok yang telah menyakiti dan meninggalkannya mengatakan jika masih menyayangi dirinya? Apa Vania sedang ditipu?

"Lo bilang apa? Masih sayang? Lo lupa sama semua yang lo lakuin ke gue?"

"Nggak Van. Gue nggak lupa sama sekali. Gue akui semua kesalahan gue ke lo. Gue benar-benar salah dan bodoh. Gue minta maaf. Gue menyesal. Gue nyesal udah nyia-nyiain lo dan malah beralih ke seseorang yang nggak gue butuhin. Dari awal yang gue butuhin itu lo, Van. Cuma lo," kata Seno mantap. Vania menatap cowok itu tidak percaya. Tidak ada perasaan lain di hatinya selain keterkejutan.

VaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang