Tiga

1.7K 93 2
                                    

Vania masih bingung dengan apa yang dikatakan Seno kemarin saat di kantin. Apa hubungannya antara Bintang dan kesempatan Seno? Dia ingin bertanya tapi tidak tahu harus bertanya pada siapa. Jika pada Seno tentu saja akan sia-sia. Kemarin saja cowok itu tidak mau menjelaskan. Apalagi sekarang.

"Van, gue pulang duluan ya bareng Bima," pamit Nora. Vania mengangguk seraya membereskan alat tulisnya yang berceceran di atas mejanya. "Lo dijemput?"

"Nggak. Bokap pasiennya lagi ramai. Pake ojol palingan."

"Nyokap lo ngebolehin?" Nora tahu jika Vania dijaga dengan ketat oleh kedua orang tuanya.

"Daripada gue nggak pulangkan?"

Nora mengerutkan dahinya, terlihat berpikir. Lalu cewek itu tiba-tiba tersenyum lebar saat melihat ke arah Bintang yang duduk di depan mereka.

"Bi," panggil Nora. Bintang yang dipanggil sontak menolehkan kepalanya.

"Ya?"

"Gue boleh minta tolong, nggak?"

"Anterin Vania pulang."

"Nora!" Tegur Vania tidak suka. Dia tidak mau merepotkan Bintang. "Gue bisa pulang sendiri."

"Mau nggak, Bi? Vania ini nggak dibolehin naik angkutan umum sama orang tuanya," kata Nora tanpa peduli tatapan tidak setuju Vania.

"Boleh. Gue kebetulan juga nggak ada kegiatan setelah ini," angguk Bintang setuju membuat senyum Nora merekah lebar.

"Nggak usah, Bi. Jangan repot-repot. Gue bisa pulang sendiri kok. Beneran," tolak Vania.

"Pulang sama Bintang aja Van, sekalian p–" Mulut Tian dibekap tiba-tiba oleh Bintang sehingga yang terdengar selanjutnya hanya gumaman tidak jelas.

"Nggak ngerepotin kok, Van. Lagian rumah kita searah," kata Bintang dengan tangan yang masih membekap mulut Tian. Tian memukul punggung tangan sahabatnya itu, minta dilepaskan.

"Kok Tian mulutnya lo bekap gitu? Kasian dia susah napas kayaknya," tanya Vania heran. Bintang menjauhkan tangannya dari Tian tapi menatap sahabatnya itu tajam sebagai peringatan agar tidak asal berbicara lagi.

"Tau nih. Bintang tega banget sama gue. Takut ketahuan kalau–"

"Ra." Kasihan sekali Tian, setiap mau ngomong selalu saja ada yang motong atau menyela.

"Eh Bim. Langsung balik nih?" Bima muncul bersama Seno dibelakangnya.

"Iya yuk. Vania gimana?" Tanya Bima.

"Gue pulang sen–"

"Diantar Bintang!" Sela Nora cepat.

"Nggak, Vania pulang bareng gue." Tiba-tiba Seno muncul dan menarik tangan Vania.

"Nggak! Vania pulang bareng Bintang. Bintang udah iyain tadi," tolak Nora penuh tekanan. Cewek itu melepaskan cekalan tangan Seno dari Vania. "Van, lo pulang sama Bintang. Nggak ada bantahan."

Vania jadi serba salah melihat kondisi seperti ini. Di satu sisi dia tidak bisa menolak Nora karena Nora sudah memberikan tekanan begitu di intonasi suaranya. Bintang juga sudah mengiyakan permintaan Nora. Tapi di sisi lain, Vania tidak enak hati pada Seno. Dia sudah berjanji memberikan Seno kesempatan.

"Tapi gue keberatan Vania pulang sama Bintang," kata Seno.

"Lo pikir gue peduli? Ayo Bim, kita pulang." Nora beranjak dari duduknya lalu menarik tangan Bima keluar dari kelas. Sebelum itu dia menatap Vania penuh peringatan. Vania yang mengerti hanya bisa mendesah berat.

"Sen, gue pulang sama Bintang," putus Vania akhirnya.

"Tapi Van–"

"Besok pagi lo jemput gue. Jangan telat ya."

VaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang