Delapan

1.6K 70 3
                                    

Nora menatap Vania yang sibuk membersihkan wajahnya dengan micellar water. Cewek itu mehanan dirinya untuk tidak bertanya sekarang. Dia akan menunggu hingga Vania kelihatan tenang, seperti saran Bintang.

"Mending lo sekalian mandi deh. Pake baju gue aja," saran Nora. Vania menatap Nora melalui cermin, lalu mengangguk lambat. Nora beranjak dari duduknya, menuju lemari untuk mengambilkan handuk bersih dan pakaian ganti untuk Vania.

"Nih." Nora menyodorkan handuk dan pakaiannya pada Vania. Vania menerimanya dan bergumam terima kasih. Mendung masih setia menggelayuti wajah cantik cewek itu.

Vania butuh waktu sepuluh menit untuk mandi. Cewek itu keluar dari kamar mandi dengan handuk yang berada di atas kepalanya. Wajahnya sudah terlihat lebih segar daripada sebelumnya, meskipun bengkak di mata Vania belum hilang sepenuhnya.

"Laper nggak? Mau gue pesanin makanan?" Tawar Nora. Vania menggeleng lalu duduk di tepi kasur, di sebelah Nora. Vania menghela napas kasar, membuat Nora menatapnya penasaran.

"Lo mau cerita nggak?"

"Cerita apa?" Nora tahu Vania belagak polos.

"Kenapa lo nangis dan kenapa Bintang yang nganterin lo kesini sedangkan lo pergi sama Seno?"

Vania menggigit bibirnya. Bimbang untuk mengatakan semua hal yang terjadi malam ini pada Nora. Bukannya Vania tidak menganggap Nora sebagai sahabat lagi. Tapi Vania takut untuk melihat bagaimana reaksi Nora nantinya.

"Van, kenapa lo diem aja?" Nora menggoyangkan lengan Vania tidak sabaran. Dia ingin segera mendengar jawaban dari pertanyaannya. Maaf Bintang, Nora tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia sudah dalam mode kepo akut!

"Janji nggak marah-marah setelah gue cerita?" Mata Nora menyipit curiga. Dia yakin sudah terjadi sesuatu hal yang tidak beres sehingga Vania sampai seperti ini.

"Lo dilecehin sama Seno?"

"Ih Nora! Bukan! Jorok banget sih isi kepala lo." Vania menoyor gemas kepala Nora. Berharap posisi otaknya kembali ke tempat semula hingga sahabatnya itu bia berpikir jernih. Bukannya hal macam-macam seperti tadi.

"Lagian lo mencurigakan gitu. Ayo cepat cerita. Kalau nggak, gue telepon Seno nih." Nora bergerak seolah hendak mengambil ponselnya yang dibalas dengan panik oleh Vania. Vania cepat mengambil ponsel Nora lalu menyembunyikannya di bawah selimut.

"Nggak boleh telepon siapapun."

"Lo kenapa sih, Van? Lo aneh begini gue makin curiga kalau terjadi sesuatu yang buruh. Buru cerita," desak Nora. Vania menatap Nora lama. Menimang bagaimana baiknya dia menyeritakan semuanya pada Nora. Sayangnya, ketika satu kata sudah meluncur dari mulutnya, Vania bercerita lepas begitu saja tanpa memilah-milah terlebih dahulu, seperti rencana awalnya.

"ANJ–"

"Jangan ngumpat!" sela Vania. Dia segera menutup mulut Nora dengan telapak tangannya.

"Leph ... as!" Nora menarik paksa tangan Vania dari mulutnya. "Nggak ada otak emang tuh cowok ya. Bisa-bisanya dia ngekhianatin lo. Gue harus bikin perhitungan sama dia."

"Nggak usah, Ra. Gue nggak mau lo terlibat masalah sama dia."

"Nggak bisa dibiarin gitu aja, Van. Kalau lo nggak mau gue bikin perhitungan sama dia. Lo yang harus lakuin."

"Maksud lo gimana?"

"Lo nggak bisa diam aja, Van. Lo tahu kalau dia udah khianatin lo. Lo nggak boleh terlalu baik sama dia. Setidaknya besok lo tampar mukanya atau tonjok perutnya. Tuh playboy cap cicak harus dikasih pelajaran," kata Nora berapi-api.

"Lo tahu gue nggak bisa kayak gitu, Ra."

"Terus lo mau aja diinjak-injak sama cowok brengsek kayak Seno? Van, gue udah pernah bilang sama lo. Baik boleh, bego jangan. Lo udah disakitin sampai dikhianatin gini, tapi lo masih baik aja ke dia. Mana mau-maunya ngasih dia kesempatan kedua. Siapa yang berani tanggung jawab kalau Seno nggak bakal nyakitin lo lagi, huh?" Vania tahu Nora tidak marah padanya. Tapi mendengar emosi pada setiap kalimat Nora membuatnya sedih, tidak tahu kenapa.

"Gue setuju kasih dia kesempatan lagi sebelum tahu cerita ini."

"Ya udah. Lo cabut lagi kesempatan yang lo kasih. Bilang ke Seno, waktunya udah habis dan selamat menikmati penyesalan seumur hidup," kata Nora sadis. Cewek itu benar-benar terlihat kejam jika diliputi emosi seperti ini.

"Nggak semudah itu," lirih Vania. Kepala Vania menunduk, menatap jemarinya yang saling berkaitan satu sama lain.

"Jangan bilang lo mau jadi bodoh cuma buat cowok brengsek kayak Seno?"

"Bukan gitu, Ra."

"Terus kenapa? Gue nggak habis pikir deh sama lo. Kenapa masih mau sama Seno padahal ada Bintang yang jauh lebih baik," gerutu Nora kesal. Vania mengernyitkan dahinya. Bintang? Kenapa Nora malah membawa nama Bintang dalam percakapan mereka? Mereka bukannya sedang membicarakan Seno?

"Bintang?"

"Iya. Bintang si ketua OSIS super kece yang lo sia-siain cuma demi cowok brengsek macam Seno."

"Ra, berhenti ngomong kasar bisa nggak sih?"

"Nggak kalau itu buat Seno," tolak Nora cuek.

"Ngapain sih lo bawa-bawa Bintang segala?"

"Supaya lo sadar kalau ada cowok baik-baik yang suka sama lo. Jadi lo nggak perlu balik ke cowok macam setan itu lagi. Lo tahukan kalau Bintang suka sama lo? Kata Bintang, dia udah pernah bilang walaupun nggak secara langsung."

Vania mengangguk. Ingatannya kembali pada waktu mereka di ruang OSIS dan Bintang meminta kesempatan untuk membuktikan dirinya.

"Bintang itu suka sama lo. Lo tahukan tadi dia minta bicara berdua sama gue? Dia bicarain tentang lo. Dia khawatir banget liat lo nangis tadi tapi nggak berani nanya kenapa. Dia nggak mau lo ngerasa nggak nyaman ataupun tertekan. Dia minta gue buat selalu ada untuk lo sampai lo merasa baikan. Dia minta gue untuk cari tahu alasan lo nangis tapi jangan sampai menekan lo. See? Bintang sepeduli itu sama lo. Lo masih mau nyia-nyiain cowok kayak Bintang demi Seno?"

"Ra, gue tahu Bintang baik. Jauh lebih baik daripada Seno. Gue sendiri bisa merasakannya. Tadi pas gue nangis dan tiba-tiba meluk dia, Bintang nggak ngomen apapun. Dia seakan ngasih waktu untuk gue. Dia sangat-sangat baik dan peduli sama gue. Tapi cinta nggak semudah itu datangkan?"

"Maksud lo, lo tetap cinta Seno meskipun dia brengsek dan lo nggak bisa cinta Bintang?" Nora benar-benar terkejut mendengar penuturan sahabatnya. Apa Vania benar-benar sebodoh itu?

"Bukan gitu. Gue juga nggak mau jadi bodoh. Tapi gue butuh memikirkan semuanya matang-matang, Ra. Jujur, perasaan untuk Seno itu masih ada. Itu juga jadi alasan kenapa gue mau ngasih dia kesempatan. Tapi setelah tahu tentang pengkhianatan dia, gue perlu berpikir untuk mengambil tindakan yang tepat. Gue nggak bisa memutuskan begitu aja. Terserah lo mau bilang gue bego apa gimana. Dan soal Bintang, dia menarik? Tentu saja. Semua cewek di sekolah juga setuju. Tapi menarik aja nggak cukup bikin sukakan? Gue sama Bintang butuh pengenalan dan pendekatan lagi untuk bisa sama-sama di fase itu. Gue butuh mengenal Bintang lebih jauh agar gue yakin dengan keputusan gue nantinya."

*tbc

Love,
Vand🦋

VaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang