Aruna terdiam melihat pemandangan yang ada didepannya saat ini. Dia sedang duduk di sebuah kelas, iya, kelas dalam sebuah sekolah yang tak asing baginya, kelasnya pada saat SMA dulu.
Aruna memandangi kedua tangannya yang ada di atas meja. Tangan kanannya sedang memegang pensil mekanik kesayangannya dan tangan kirinya terdiam diatas buku catatannya. Aruna kemudian memandangi sang guru, ah, dia guru bahasa indonesia, ucap Aruna dalam hati. Guru itu sudah lama pergi mendatangi Tuhan, berarti benar, Aruna sedang bermimpi.
Aruna sudah hapal betul situasi yang akan dialaminya, pasti lelaki dari masa lalunya itu lah yang memanggil Aruna ke alam ini, atau mungkin, lelaki itu kembali menyelinap dalam mimpi Aruna. Maka dari itu, mata Aruna sedang berkeliling mencarinya. Pelan-pelan Aruna mengarahkan matanya ke segala sudut kelas, sembari meluapkan rasa rindunya akan masa remaja.
Aruna memerhatikan tubuhnya, hal pertama yang ia lakukan memegangi rambutnya. Rambutnya panjang, lurus dan tebal. Dulu Aruna memang sangat suka memanjangi rambutnya, masih suka merawatnya dengan sepenuh hati. Aruna mengambil kaca kecil di tempat pensilnya, lalu berkaca. Mata Aruna besar, kulitnya coklat karena sering terkena paparan sinar matahari ketika latihan teater.
Selesai berkaca, kali ini mata Aruna menelusuri satu persatu wajah teman-temannya, Aruna berusaha keras mengingat-ingat sosoknya. Aruna mengarahkan kepalanya ke belakang kelas, tempat biasa lelaki itu duduk memerhatikan guru dengan malas-malasan, Lelaki yang memiliki bola mata yang besar namun terlihat selalu mengantuk, yang memiliki rambut ikal mengembang berantakan seperti sangat sulit untuk disisir, yang selalu memakai vest hijau dan tas ransel berwarna biru gelap, yang selalu mengganggu Aruna di setiap kesempatan.
Akan tetapi, lelaki itu tidak ada. Aruna memalingkan wajahnya dari bangku kosong itu dengan penuh rasa kecewa. Aruna ingin bertemu dengannya, Aruna merindukannya.
Kalau ini mimpi, maka Aruna bisa bertidak sesuka hati, pikirnya lagi. Aruna pun berdiri dari bangkunya, berjalan perlahan menuju keluar kelas, berharap dan berharap lelaki itu segera muncul. Lalu berdirilah dia disana, Fajar, lelaki yang dicarinya, bersandar didepan pintu kelas, memandangi hujan sambil melamun.
Aruna hanya memandangi Fajar, tak berani menyapa, takut tiba-tiba Fajar hilang atau ia terbangun dari mimpinya itu. Maka Aruna memilih diam, menikmati pemandangan sementara ini.
Fajar tersadar sedang diperhatikan oleh gadis mungil satu itu, ia pun menoleh sambil nyengir. "Hai."
"Hai." Aruna membalasnya dengan senyum lebar.
"Ngapain disitu? Mendekatlah." Fajar berkata ramah sambil mengulurkan tangan kanannya, meminta Aruna mendekat dan menggenggam tangannya itu.
Seakan terhipnotis, Aruna mendekat dan menggapai tangan Fajar. Mereka berdiri berdampingan, memandangi hujan, Aruna merasa tenang. Fajar dengan tenang memasang earphone pada telepon genggam yang entah muncul dari mana, yah namanya juga mimpi, semua benda pasti muncul dari manapun. Kemudian Fajar memasang salah satu earphone itu ke telinga kanannya, dan satunya lagi dipasangkan ke telinga kiri Aruna.
Hanya terdengar suara piano sementara waktu, tenang, Aruna seperti tak ingin terbangun lagi. Dengan Fajar disebelahnya, dengan masa remajanya yang tak memiliki masa sulit disini, Aruna merasa cukup.
"Hujan sudah reda, mari pulang." Ajak Fajar, lagi-lagi sambil tersenyum
"Tidak mau." Jawab Aruna, kali ini, ia tak mau mengalah, ia tak mau mimpinya itu cuma sementara, ia ingin berlama-lama menghabiskan waktu dengan lelaki ini.
"Tenang, ku antarkan pulang. Jadi waktu kita bersama masih lama." Fajar seakan membaca kekhawatiran pada wajah Aruna.
"Rumahku kan dekat dari sini, tetap saja akan terasa cepat." Aruna memasang wajah kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
Romance"Akan ada suatu momentum, dimana kamu dan dia akan kembali berjumpa. Dimana kamu dan dia akan memutuskan, berhenti atau melanjutkan kisah kalian"