016. Elegi Sang Matahari

142 15 0
                                        

Aruna akhirnya memutuskan untuk menghubungi Bimo, sesuai permintaan Anna. Bimo menanggapinya dengan ramah serta meminta Aruna untuk datang ke alamat yang ia sedang datangi sekarang. Walau hatinya bingung, Aruna tetap pergi dan saat ini terdiam di seberang jalan sebuah perumahan.

Terdapat kumpulan kontrakan di dalam pagar, sepertinya punya satu pemilik. Memiliki halaman yang besar dan sejuk, tetapi Aruna tak tahu rumah yang mana yang harus ia tuju, sehingga dia hanya diam saja dalam beberapa menit.

Aruna menyukai perumahan itu, dia pun memberanikan diri untuk membuka pagar rumah itu dan berdiri di sebuah taman bermain. Kelihatannya banyak anak-anak di sini, taman itu memiliki banyak permainan anak-anak, seperti ayunan rantai, ayunan bulat, jungkat-jungkit, rumah perosotan, mangkuk putar, dan taman pasir.

Seorang wanita cantik yang tengah hamil menghampiri Aruna dan menyapa Aruna dengan lembut, "Aruna, ya?"

Aruna terkejut dan menoleh ke arah yang menyapanya, lebih terkejut lagi karena Aruna sama sekali tak mengenali wanita tersebut, ada perasaan curiga, tetapi penasaran serta rasa takut yang bercampur aduk dalam pikiran Aruna.

"Kamu mencari Fajar?" tanyanya lagi, masih dengan tersenyum, yang semakin membuat Aruna merasa tak enak.

"Tenang, aku bukan istri Fajar, tapi Bimo," ujarnya membuat Aruna membuka mulutnya dengan perasaan bersalah. Dia sudah pernah melihat wanita ini dari foto yang dikirimkan Bimo pada Fajar, tetapi Aruna tak ingat betul rupanya.

"Fajar sudah lama tak ke sini, Bimo juga sedang tak ada di rumah, sedang jemput anak-anak di taman kanak-kanak," ujarnya.

"Ah," Aruna merespons dengan bingung, sambil menganggukkan kepalanya dengan kaku.

"Kamu cantik," ujar istri Bimo lagi, membuat Aruna bingung harus merespons bagaimana.

"Ah, terima kasih," balas Aruna masih dengan kaku.

"Namaku Nindi, jika mau kamu bisa menunggu Bimo di dalam. Sayang sudah jauh-jauh kemari tak bertemu, kan," ujarnya lembut, membuat Aruna terpesona dengan keelokan istri Bimo itu.

"Mari masuk," ajaknya lagi.

Aruna pun mengikuti langkah Nindi, rumah Bimo adalah rumah yang paling besar dan luas di antara yang lain. Aruna langsung mengambil kesimpulan bahwa Bimolah sang pemilik kontrakan.

"Mau teh hangat atau apa, Non?" tanya seorang bibi di dalam rumah itu dengan ramah.

"Teh saja," jawab Aruna dengan tersenyum dan duduk di sebuah sofa yang diarahkan Nindi kepadanya, sementara Nindi juga telah duduk sambil masih terpesona pada Aruna.

"Maaf aku bertamu tanpa berkabar," ucap Aruna.

"Tak papa, kami semua sudah menunggumu cukup lama," balas Nindi dengan penuh senyum.

"Sedang libur bekerja?" tanya Nindi.

"Ya, sedang ambil cuti," jawab Aruna yang memilih untuk beristirahat sementara waktu.

"Kamu pasti bingung kenapa aku tahu namamu?" tanya Nindi lagi, Aruna hanya nyengir kaku tak tahu harus menjawab apa.

"Bimo yang menceritakan dan Fajar yang paling semangat untuk menimpali," ujarnya semringah.

Mendengar nama Fajar yang disebut beberapa kali dalam pembicaraan mereka berdua, mulut Aruna benar-benar gatal untuk bertanya.

"Bagaimana kabarnya?" tanya Aruna.

"Fajar?" Nindi bertanya memastikan.

"Ya, dia."

"Ah, dia baik-baik saja jika kita melihatnya dari fisik. Tapi aku tak yakin dengan yang ada dihatinya," jawab Nindi.

ARUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang