Sebelas tahun sebelumnya, Fajar sedang duduk didepan kelasnya dengan mendengarkan musik menggunakan earphone. Dia bersandar pada sebuah bangku dengan memejamkan mata, seolah enggan diganggu.
Saat itu jam pelajaran kosong, tiga mata pelajaran berturut-turut sepertinya akan dilewati tanpa guru mereka yang seakan sepakat untuk tidak hadir hari ini. Namun anak-anak tentu saja dilarang keras untuk langsung pulang, berbagai tugas pun diberikan agar mereka tak ada alasan untuk berulah, walau tentu saja itu gagal.
Aruna yang baru saja keluar kelas untuk ke toilet, menghentikan langkahnya di depan pintu begitu melihat Fajar yang seakan terlelap. Ingin sekali ia bertanya pada lelaki itu tentang apa yang sedang dia lakukan, namun Aruna memilih diam dan berdiri memerhatikan.
Fajar membuka matanya, menolehkan kepalanya kepada Aruna seolah tahu sejak tadi diperhatikan, lalu memberikan senyum, tidak manis, seperti banyak yang dipikirkan.
Merasa dirinya mengganggu Fajar, Aruna memilih untuk masuk ke kelas. Namun, Fajar menghentikannya.
"Pendek." Panggil Fajar.
"Hm?"
"Duduk sini, dong." Fajar menepuk-nepukan tangannya ke arah sisi kosong bangku di sebelahnya, meminta ditemani.
Aruna pun menuruti kemauan lelaki itu. Hari ini Ibu Fajar dipanggil ke sekolah karena kemarin Fajar ketahuan merencanakan serangan ke sekolah tetangga bersama teman-temannya, belum lagi minggu lalu Fajar ketahuan menolong teman-temannya yang sedang terkena razia rokok dengan menyembunyikan rokok tersebut.
"Apa yang sedang elo dengarkan?" Tanya Aruna.
"Mau dengar?" Fajar balik bertanya.
Aruna mengangguk, Fajar pun melepaskan sebelah earphonenya dan memasangkannya ke telinga Aruna.
Tidak ada lagu apapun yang terdengar disitu, hanya.. hujan. Iya, suara hujan yang deras namun menenangkan.
"Hujan?" Tanya Aruna, Fajar tersenyum.
"Dari tadi dengerin ini?" Tanyanya lagi.
"Iya." Jawab Fajar.
"Kenapa?"
"Apanya yang kenapa?"
"Kan enggak ada lagunya."
"Tapi bikin tenang." Ucap Fajar.
"Dunia ini berisik, semua orang ingin bicara tanpa ingin mendengar. Suara hujan ya begitu saja, tapi jauh lebih menyenangkan dari omelan orang-orang." Jelasnya lagi.
"Karena habis diomelin nyokap?" Tanya Aruna.
"Hh." Fajar mendengus, mengeluarkan senyum tak sukanya saat Aruna mengucapkan hal itu.
"Kenapa?"
"Apa perdulinya dia pada hidup gue."
"Dia kan ibu elo." Aruna mengernyitkan dahinya.
"Elo tahu enggak, gue punya kakak dan adik yang beda bapak semua?"
Aruna terdiam, sepertinya dia salah mengajak bicara soal itu.
"Menurut elo, bagaimana rasanya punya seorang ibu yang jauh lebih sering pulang malam dibanding anaknya? Balik-balik bau alkohol terus marah-marah enggak jelas sama anak-anaknya. Gimana rasanya punya kakak perempuan yang suka kabur dari rumah dan nginap di kosan pacarnya, terus punya tetangga yang berisik ngomongin hidup keluarga elo?"
Aruna tetap diam.
"Terus hari ini dia datang ke sekolah, ingin terlihat jadi ibu yang baik. Tapi tadi lihat enggak cara dia berpakaian, dengan rok mini dan dandanan menor. Haha." Fajar tertawa pahit.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
Romance"Akan ada suatu momentum, dimana kamu dan dia akan kembali berjumpa. Dimana kamu dan dia akan memutuskan, berhenti atau melanjutkan kisah kalian"