010. Aku dan kamu, yang berjumpa tanpa janji

252 27 4
                                    

"ARGH!" Aruna berteriak kesal di depan gerbang sekolahnya yang baru saja menutup pagi itu, gadis itu berlari kencang mengejar sang penjaga sekolah yang lebih sering dipangging 'Babeh' itu.

"Beh, bukain dong beh. Tolong." Aruna yang masih berumur 17 tahun itu memohon, dirinya semalam tidur larut karena mengerjakan tugas miliknya dan Fajar dan sekaligus. Begitu terbangun, entah apa yang sedang terjadi, Ayahnya tak dapat mengantarnya dan Angkot pun sangat jarang lewat dan kemacetan tiba-tiba melanda.

"Elo tahu kan jam masuk jam berape?" Ujar babeh dibalik pagar, sambil menyeruput kopi hitam kesukaannya.

"Jam 7 pagi kan."

"Sudah ganti, kan aturan baru pemda, sekolah masuk jam 06.30 untuk mengurangi kemacetan."

"Ya tapi Runa kan enggak pernah telat sebelumnya, Beh. Tolongin Runa lah." Aruna memelas.

Babeh tidak membalas perkataan Aruna melainkan meninggalkannya. Gadis mungil itu pun jongkok, lalu menenggelamkan kepalanya dengan kedua tangan. Tak mungkin ia kembali ke rumah, bisa-bisa dirinya di makan hidup-hidup oleh orangtuanya karena membolos.

Lalu muncullah sebuah ide dikepalanya, serentak tubuh dan otaknya bekerja sama menuju tembok belakang sekolah. Ya tentu saja, apalagi kalau bukan memanjatlah yang diinginkannya. Tentu tidak mudah bagi Aruna, karena begitu melihat pembatas yang cukup tinggi Aruna hanya membuka mulutnya lebar-lebar karena bingung bagaimana cara memanjatnya.

Terdapat bapak-bapak tua yang sedang menjaga warung di belakang sekolahnya itu, dengan santai memerhatikan si gadis sial ini yang sudah terlambat dan tak mampu memanjat.

"Pakai bangku, tuh." Ujar bapak tua itu pada Aruna.

Aruna menoleh, bingung, ingin mengikuti saran atau menyerah saja. Nyatanya kakinya langsung mengarah ke bangku yang ditunjuk, lalu pelan-pelan kedua tangannya mengangkat bangku itu. Aruna pun menaiki bangku itu ketika ia sudah meletakkannya tepat didekat tembok pembatas. Dengan cekatan tapi panik, ia mulai memanjat dan berhasil duduk diatas tembok. Nahas, dirinya tak tahu cara turun, tak berani melompat seperti yang pernah dilakukan Fajar kala itu.

"Lagi ngapain sih?" terdengar suara pemuda nakal yang disukai Aruna itu. ia sedang berdiri didekat bangku yang aruna pakai untuk memanja tadi, wajah Aruna sudah pucat pasi.

"Kalau lama-lama duduk disitu, nanti malah ketahuan." Ujar Fajar, kemudian ia mengulurkan satu tangannya kepada Aruna "Cepat turun."

"Enggak berani loncat kan, sudah sini balik badan." Ujarnya lagi.

Aruna menurutinya. Dirinnya membalikkan badan, lalu pelan-pelan turun dan lompat, bukan ke arah bangku, malah ke arah Fajar yang sudah membuka kedua tangannya seolah siap menangkap Aruna.

BRAAK! Tabrakan pun terjadi karena keseimbangan Fajar untuk berdiri sudah tidak ada, sehingga keduanya jatuh ke tanah.

"Adududuh!" Aruna meringis kesakitan, sementara Fajar hanya memasrahkan badanya terbaring di tanah.

"Disini jual hansaplast juga." Ujar si bapak tua yang ternyata masih memerhatikan adegan memalukan ini.

"Enggak perlu Pak'de, ini cewek keliatannya doang mungil, berat juga ternyata!" sahut Fajar.

"Maaf." Aruna menunduk dan meminta maaf.

Fajar membangkitan dirinya dan membersikan seragamnya yang kotor terkena tanah dengan kedua tangannya.

"Yuk." Fajar mengulurkan tangannya sekali lagi ke arah Aruna.

"Ngapain?" Aruna bertanya.

"Dengan tingkat rasa takut elo buat loncat setinggi itu, kita enggak bakal bisa manjat. Bolos saja, yuk."

ARUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang