Sudah seminggu Aruna tak masuk kantor, ia memilih bekerja di rumah atau tempat lainnya. Dia enggan berjumpa dengan yang namanya cinta. Kekecewaannya semakin menjadi saat Fajar membatalkan acara tanpa kabar, ternyata bukan hanya Angga yang dapat menghancurkan hatinya.
Aruna sempat berusaha menghubungi Fajar, tetapi hasilnya nihil. Hal ini membuatnya frustrasi dan memilih membuat pikirannya bekerja keras dalam pekerjaan.
"Kamu berniat bolos kerja sampai kapan?" tanya Anna pada suatu telepon, sepertinya dia diminta Resha yang mulai menyerah menghubunginya.
"Ini Sabtu," jawab Aruna singkat.
"Masih belum mau menceritakan masalahmu?" tanyanya lagi.
"Aku baik-baik saja. Hanya sedang bosan dengan suasana kantor, jadi memilih kerja di luar. Respons kalian terlalu berlebihan, kantorku, kan, juga tidak strict. Aku bisa bekerja di mana pun asal tetap bisa dihubungi dan semua pekerjaan selesai," jelas Aruna.
"Kamu sedang berbicara denganku, Runa. Sahabatmu selama 13 tahun terakhir. Kabur adalah caramu dari dulu. Tidak pergi ke sana, berarti ada yang kamu hindari. Resha sudah memberi dugaannya padaku, tapi apa pun itu, kamu harus tahu kalau kamu punya kehidupan yang lain selain dia."
"Apa aku terlihat seperti pengecut?" tanya Aruna pasrah.
"Tidak, kamu terlihat tidak menganggapku dan Resha. Kamu masih punya kami berdua kapan pun dan di mana pun. Jadi, temuilah dan menangislah sekencangnya pada kami. Karena kami pasti ada." Saat Anna mengatakan itu, air mata Aruna jatuh perlahan.
"Aku pergi dulu, ingin mencari udara segar. Jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja," ujar Aruna sambil menutup telepon.
Dirinya memandangi jendela kamarnya selama beberapa waktu, memikirkan ke mana lagi tempat untuk mengusir rasa gundahnya itu.
"Runa," panggil ibunya sembari membuka pintu kamar.
"Ya, Ma?"
"Ada temanmu, mau menemui?" tanya sang Mama, paham kalau anaknya sedang tak ingin diganggu.
"Siapa, Ma?"
"Katanya namanya Fajar."
Aruna terdiam, bingung, tetapi setelahnya ia menjawab, "Bilang padanya tunggu sebentar, Aruna mau berkemas, mau sekalian jalan."
Lalu sang Mama pergi menyampaikan pesannya itu.
"Mau sampai kapan Tuhan permainkan perasaan ini?" bisiknya dalam hati sambil memejamkan mata dan menghela napas panjang.
"Hai," sapanya tanpa senyum pada Fajar saat dirinya sudah di ruang tamu.
"Hai," jawab Fajar singkat.
"Ada apa?" tanya Aruna dengan nada lembut tak ada niatan menyakiti.
"Aku sudah membeli dua tiket XXI, ayo pergi. Aku tidak menerima penolakan."
"Kamu tidak menjelaskan kenapa acara kemarin batal dan tak ada kabar," ucap Aruna.
"Aku tidak punya penjelasan." Namun, jelas wajahnya merasa tidak enak.
"Dan sekarang kamu mengajakku pergi tanpa meminta maaf?"
Fajar diam dan memasang wajah penuh rasa bersalah, "Aku minta maaf."
"Baiklah, tidak papa. Aku sudah mulai terbiasa dengan sikapmu. Ayo pergi," ucap Aruna.
"Mari hari ini kita naik transportasi umum," ujar Fajar, menatap Aruna dengan lembut.
Aruna sedikit bingung memandangi motor Fajar, lalu bertanya, "Kenapa dengan motormu?"
"Aku tak bisa memandangi wajahmu jika mengendarai motor itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
Romance"Akan ada suatu momentum, dimana kamu dan dia akan kembali berjumpa. Dimana kamu dan dia akan memutuskan, berhenti atau melanjutkan kisah kalian"