Bab Dua

7K 648 17
                                    

Hukuman mereka, selesai dijalankan. Kini saatnya bersantai di kantin lantai atas seraya menikmati es jeruk di tengah terik panas. Sedari tadi, orang yang biasanya paling berisik di antara mereka terdiam, Tito.

Belum ada yang menyadari terdiamnya Tito, sebelum Lutfi yang tiba-tiba menyenggol lengannya. Mereka berempat menatap Tito yang sepertinya terkejut karena senggolan Lutfi. Terlihat jelas, ia sedang melamun barusan.

"Lu ngapa dah?" Lutfi bertanya. Menunjuk Tito di sampingnya dengan dagu. Disambut kernyitan heran dari lainnya.

Tito menghela napas, kemudian menghembuskannya kasar. Matanya menatap satu per satu dari mereka.

"Jadi, gue tuh penasaran." Tito terdiam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, "Sama koran lama tadi."

Abu mengangguk sembari menyeruput es jeruknya pelan. "Emang yang lo liat di koran tadi, apa? Gue belum sempet liat isinya."

Yang lain mengangguk. Membenarkan apa yang diucapkan Abu. Mereka belum sempat melihat satu judul pun di koran itu. Salahkan Pak Samsul yang begitu cepat mengambilnya. Mereka juga heran, mengapa Pak Samsul begitu sigap padahal yang mereka tahu, hanya ada mereka berlima di sana.

"Gue sempet baca satu judul sih. Pembunuhan siswi. Judulnya panjang, tapi gue baru baca sampe situ. Keburu diambil sama Pak Samsul," jelas Tito.

"Pembunuhan Siswi, ya." Red meletakkan jari telunjuk dan jempolnya di dagu. Khas orang sedang berpikir. "Lo kayaknya tertarik banget baca berita pembunuhan."

Tito mengangguk. Entah mengapa, keluar dari perpustakaan Tito terlihat lebih pendiam. Tidak menggebu-gebu dan emosian seperti tadi.

"Gue enggak tahu kenapa bisa tertarik sama hal begituan. Mungkin karena gue pengen jadi polisi. Insting detektif gue jadi keluar."

"Gaya lu."

"Enggak nyambung, bego," sahut Andre dan Lutfi bersamaam. Lalu disusul tawa renyah dari kelimanya.

"Eh, tapi gue herannya. Kenapa Pak Samsul bisa tiba-tiba ada di sana sih?" Andre bertanya. Disambut yang lainya dengan gelengan kepala.

"Iya juga sih. Gue yakin banget pas gue ke tempatnya si Tito, nggak ada Pak Samsul di sana. Bener-bener cuma kita berlima. Yakin gue."

Red berdehem. "Mungkin di sana emang ada Pak Samsul. Tapi kita nggak sadar. Jangan nethink dululah."

Abu mengangguk. Antara menyetujui ucapan Red atau menyetujui ucapan Lutfi sebelumnya. Ia juga sedikit heran. Jika Pak Samsul ada di sana sebelum mereka datang, seharusnya ada sepatu atau sandal di pintu masuk. Atau setidaknya ada suara gerak tubuh, entah kaki melangkah atau apa. Tapi tadi, ia merasa memang benar-benar hanya bertiga sejak datang ke perpustakaan.

Dipikir-pikir juga tak mungkin, Pak Samsul tiba-tiba datang lalu merampas koran itu jika koran lama tadi tak terlalu penting. Pasti ada sesuatu yang di balik koran itu, sampai Pak Samsul terlihat menyeramkan begitu mereka mencoba melihat koran lama itu. Tapi apa? Abu juga bingung.

"Eh, To. Lo kenapa mau jadi polisi dah? Bukannya polisi itu gajinya rendah, ya." Pertanyaan tiba-tiba dari Andre itu membuat Abu menghilangkan fokus pikirannya pada kejadian tadi.

Kini ia malah tertarik dengan apa alasan di balik seorang Tito yang ingin menjadi polisi. Yang katanya, polisi adalah cita-cita Tito sejak kecil.

"Bener juga. Alasannya apa, To?" Red ikut bertanya.

"Polisi itu pahlawan. Tugasnya mengayomi masyarakat juga turut andil dalam melindungi bangsa. Jadi, suatu saat ketika ada orang yang nanya ke gue 'apa yang telah anda berikan kepada Indonesia?' gue akan menjawab, gue adalah anggota kepolisian yang siap melayani masyarakat dan membantu TNI melindungi bangsa Indonesia."

Semua menggangguk mengerti. Ternyata, di balik sikap dan sifat Tito yang menjengkelkan ada satu hal yang membuat mereka kagum. Tito adalah sosok yang mampu berpikir jauh ke depan, ya meski dia mempunyai emosi yang tak terkontrol.

"Gue baru tahu, lo bisa bijak juga To. Hahahaha." Ejekan dari Red seketika membuat raut wajah Tito yang awalnya sumringah menjadi masam.

"Sialan."

Bersambung...

231218

Midnight MessageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang