Bab Tujuh Belas

3.2K 350 3
                                    

Larut dalam obrolan yang begitu serius membuat mereka lupa waktu. Jam istirahat telah habis beberapa menit yang lalu. Dan mereka masih berada di kantin. Memperdebatkan siapa saja yang masuk dalam kategori kanditat pelaku pesan misterius ini.

Hingga sebuah tepukan mendarat di bahu kanan Lutfi, membutnya terlonjak kaget sampai hampir jatuh dari tempat duduknya.

Pak Solihin, selaku petugas satpam yang biasa mengawasi kantin juga kelas-kelas, menegur mereka. Menatap dengan mata tajam. Sontak membuat kelima anak ini berdiri.

"Ngapain kalian masih di sini?!" serunya dengan suara lantang. Persis seperti suara polisi ketika menginterogasi seorang maling.

Yang lain beringsut, merapat pada Abu dan Tito yang kebetulan berada di posisi tengah. Tidak, mereka tidak takut pada pria paruh baya dengan perut buncit di hadapan mereka kini. Hanya saja mereka terkejut.

"Maaf, Pak. Kami nggak denger bel," bela Tito.

Tangan Pak Solihin bergerak menuju kumis panjangnya berada. Meraba sampai mengelus-elus kumisnya itu sembari menggertak. "Masuk ke kelas sekarang juga!"

Tanpa pikir panjang, mereka melangkah setelah sebelumnya sedikit membungkuk. Tanda menghormati Pak Solihin sebagai orang yang lebih tua dari mereka.

Mereka berjalan cepat menuju kelas, sembari mengobrol tak jelas. Kadang tertawa, kadang terlihat cemas karena takut dihukum guru yang sedang piket. Namun canda tawa mereka lebih terdengar nyaring dibanding umpatan kasar yang sebelumnya mereka lontarkan karena kesal. Kesal pada diri sendiri yang tak mendengar bel masuk tadi.

"Nunduk-nunduk," seru Red ketika hampir sampai di kelasnya. Tangannya terus bergerak ke atas ke bawah. Meminta mereka semua menunduk.

Red mendongak sebentar, mengintip dari jendela apakah ada guru piket atau tidak. Beberapa saat kemudian, ia menghela napas dan meluruhkan tubuhnya ke lantai. Mendapat tatapan tanda tanya dari teman-temannya.

"Gimana?" Andre berbisik.

Red diam sesaat, sampai-sampai keempat temannya menatapnya intens. Red menunduk, sebenarnya ingin tertawa namun ia berusaha keras menahannya.

"Nggak ada guru," ujar Red dengan nada riang, disambut oleh helaan napas lega dari keempat pemuda itu.

Mereka bangkit dari duduknya. Menepuk-nepuk seragam dan celana mereka agar bebas dari debu. Setelah itu berjalan santai memasuki ruang kelas. Setelah masuk, akhirnya terungkap apa yang membuat kelas mereka sedari tadi hening, seolah terdapat guru mengajar. Padahal nyatanya mereka semua menelungkupkan kepalanya ke meja. Rata-rata telah terbuai dalam mimpi, termasuk Alex si tukang pembuat onar.

"Jadi kandidatnya baru dua. Pak KepSek sama Pak Sup satpam depan. Gue rasa Pak Solihin juga ada kaitannya, mungkin. Gue enggak yakin." Mereka kembali melanjutkan diskusi mereka setelah duduk di tempat masing-masing.

"Gue juga sih. Tapi ya nggak ada salahnya juga."

Andre yang terdiam tiba-tiba menyeletuk. "Pak Samsul juga. Dia misterius banget."

"Yailah, Dre. Lu pikir umur Pak Samsul yang segitu masih kuat buat ginian? Pak Samsul 30 tahun lebih tua dari kita. Dia juga keknya nggak paham main ponsel apalagi bikin teror kek gini. Meski dia misterius banget sih," kata Tito.

"Gue setuju sama Tito." Red mengangguk.

Hening kemudian melanda. Mereka terjebak dalam keheningan beberapa saat sebelum akhirnya Abu yang sedari tadi diam karena berpikir, angkat suara.

"Masih inget sama koran yang Tito kepoin banget?" Mereka semua mengangguk.

"Gue rasa ini ada kaitannya sama koran itu."

Tito menatapnya heran. "Maksudnya? Lo menganggap koran itu ada hubungannya sama kasus ini. Koran bagian mananya? Siswi bunuh diri itu? Sedangkan penampakan yang kita lihat penampakan wanita. Bukan gadis."

"To, mau wanita ataupun gadis, mereka tetep sama, To. Wajahnya samar. Nggak jelas. Dan menurut gue koran itu bisa aja ada kaitannya sama kasus ini."

Diam. Semuanya diam. Bahkan Abu pun tak menjawab. Bukannya ia percaya pada omongan Tito. Hanya saja Abu memilih untuk diam saja daripada lanjut berdebat dengan Tito. Buang-buang waktu saja.

Bersambung...

120119

Midnight MessageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang