Bab Lima

4.9K 512 12
                                    

Malam semakin larut. Namun di tempat yang berbeda, Tito, Red, Abu, Andre dan Lutfi sama-sama belum tertidur. Mereka berlima masih membicarakan hal random di grup chat yang mereka buat. Segala pembicaraan mulai dari mobil impian mereka sampai ukuran celana dalam pun mereka bahas.

Di saat tengah asik chattingan, Andre di tempatnya memilih untuk mengundurkan diri terlebih dahulu. Bukannya apa, malam telah beranjak larut, bisa-bisa ia diamuk oleh Mamaknya jika ketahuan begadang sampai selarut ini.

Di lain tempat, Lufti juga melakukan hal yang sama. Undur diri setelah beberapa saat Andre pamit ingin tidur. Ia menggerakkan jarinya, menyentuh beberapa ikon di layar ponsel sebelum mematikan data seluler. Sungguh, ia mengantuk.

Lufti menguap sebentar sebelum menjatuhkan tubuhnya pada kasur empuk miliknya. Menata bantal agar nyaman di kepalanya sebelum menyelimuti tubuh dengan selimut tebal. Matanya menutup perlahan, namun tangannya masih bergerak, berusaha meraih remot ac untuk memperbesar suhu ruangan kamarnya.

Namun suara pesan tanda sms membuat mata Lutfi terbuka. Ia menatap jam sejenak. Pukul 11.25 malam. Lutfi bangkit meraih ponselnya. Ia cukup penasaran sebenarnya. Karena memang sangat jarang ponselnya berbunyi sebuah pesan sms. Ya, kecuali operator yang sering kali mengisi kolom perpesanan ponselnya.

Lufti menguap lagi sebelum membuka ponsel hitam miliknya. Menyentuh gambar pesan dan mencari siapa gerangan seseorang yang mengganggu niat tidurnya.

Rupanya nomor baru. Lutfi agak terkejut. Jujur saja, ia tak pernah mendapat sms dari nomor yang tidak diketahui sebenarnya. Teman-temannya pun jarang mengiriminya sms, lebih sering melalui applikasi perpesanan online.

Lutfi menyentuh nomor itu, sedetik kemudian sebuah pesan terpampang jelas di sana.

08**********
11.25 merupakan jam kematianku. Hari ini adalah hari kematianku. Pesan ini merupakan pertanda, kamu harus bermain denganku. Lihat pojok kananmu, aku ada di sana. Mari bermain.

Lutfi terkekeh. Pesan macam apa yang masuk di ponselnya malam ini. Rasanya seperti mengulang masa lalu, ketika ia baru mempunyai ponsel, banyak sekali pesan menjebak seperti ini. Menakut-nakuti padahal nyatanya tak ada apa-apa. Payahnya, dulu ia selalu mempercayai hal ini. Tapi tidak untuk sekarang. Lufti tak ingin ditipu lagi.

"Basi," katanya sebelum kembali menaruh ponsel dan kembali bergelung dengan selimut tebalnya.

Matanya terpejam. Namun Lufti masih bisa mendengar suara-suara sekitar. Dan yang ia tangkap adalah suara langkah kaki. Lufti yakin suara itu suara mamanya. Namun ada yang sedikit berbeda. Suara langkah kaki ini seperti terseret, seolah susah berjalan.

Beberapa menit setelahnya Lutfi tak lagi mendengar apa-apa. Namun ia belum bisa tertidur nyenyak. Anehnya, aura sekitar entah mengapa terasa lebih mencekam meski matanya telah terpejam. Terasa pengap dan sesak. Padahal sebelumnya ia tak merasakan hal ini.

Memberanikan diri, Lutfi membuka mata, namun urung. Entah mengapa ia malah menghadap pada pojok sebelah kanannya. Ia jadi teringat pesan tadi, apa pesan itu benar?

Mata Lutfi kini benar-benar terbuka. Namun sosok yang berada di pojok kanan itu membuatnya bergetar. Lutfi jelas melihat sosok itu. Wanita dengan rambut panjang, senyum mengerikan dan sebuah tali yang melilit lehernya.

Lutfi benar-benar merasa takut kali ini. Tubuhnya bergetar, matanya seolah ingin memejam namun tak bisa, bibirnya pun ikut bergetar. Dan dengan suara lantang, Lutfi berhasil meneriakkan ketakutannya.

"Allahu Akbar, Mamaaa!"

Dan perlahan, sosok itu menghilang bertepatan dengan Mamanya yang berlari menghampirinya.

***

Di lain tempat beberapa saat sebelum Lufti mengalami kejadian itu, Andre yang sejak tadi memilih mengundurkan diri terlebih dahulu, kini malah asik menonton salah satu channel youtube favoritnya.

Ia bahkan sepenuhnya menutup diri dari ujung kaki hingga ujung kepala hingga ujung rambut. Takut ketahuan Mamaknya begadang menonton youtube. Ia juga tengah memakai earphone. Lagi-lagi karena takut ketahuan sang mamak.

Selesai menonton, Andre melepas earphone-nya perlahan. Kembali membuka selimut yang sebelumnya menutupi seluruh tubuhnya. Ia juga hendak menaruh ponselnya di nakas sebelah kanan kasur. Namun getaran tanda sms masuk membuat Andre mengurungkan niatnya.

Ia melihat jam di ponselnya sejenak. Pukul 11.25. Siapa gerangan yang mengiriminya sms semalam ini. Apa iya operator? Andre membuka applikasi perpesanan-nya. Melihat ada nomor tak dikenal, membuat Andre segera membukanya.

08**********
11.25 merupakan jam kematianku. Hari ini adalah hari kematianku. Pesan ini merupakan pertanda, kamu harus bermain denganku. Lihat pojok kananmu, aku ada di sana. Mari bermain.

Andre menggeleng tak percaya setelah membacanya. Di jaman se-modern sekarang, masih saja ada orang yang iseng seperti ini. Ia menaruh ponselnya ke atas nakas, kegiatan yang beberapa saat lalu ia tunda.

Kemudian kembali bergelung dengan selimut tebal. Andre pun telah memejamkan matanya. Sama seperti Lutfi tadi, Andre belum sepenuhnya tertidur. Ia masih mendengar suara-suara di sekitarnya.

Suara langkah kaki terdengar. Kali ini ia menyimpulkan jika suara langkah kaki itu milik mamaknya. Andre memasang wajah sedemikian rupa agar terlihat tertidur nyenyak saat mamaknya mengecek kamarnya nanti.

Suara langkah kaki itu hilang, tak bersisa. Mamaknya biasa mengelus surainya ketika menengoknya. Namun kali ini, suara itu menghilang begitu saja. Sontak membuat Andre mengingat pesan tadi. Apa pesan itu benar-benar nyata?

Andre memutuskan membuka matanya. Kebetulan di depannya adalah pojok kanan. Andre sontak merasa tubuhnya bergetar dan merinding begitu melihat sosok wanita berambut panjang sedang menyeringai dengan tali meliliti lehernya. Pesan itu nyata. Benar-benar nyata.

Dengan bibir bergetar, Andre berteriak, "Astagfirullah. Astagfirullah. Mamak! Mamak!"

Beberapa saat kemudian, sosok itu mengilang dengan seringai yang semakin lama semakin melebar. Lalu menghilang dengan asap tipis yang menguar.

Bersambung.

261218

Midnight MessageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang