Prolog

558 62 80
                                    

Kring kring kring!

Aku mengerjap-ngerjap saat alarmku berbunyi. Rasanya, gravitasi bumi tidak lebih kuat dari gravitasi kasur tercintaku ini. Karena alarm sialan itu, mimpi indahku hancur. Terkadang aku tidak ingin bangun dari mimpiku yang indah. Karena apa? Realita yang aku hadapi tak seindah bunga tidurku di malam hari.

Dengan malas, aku memaksakan diriku untuk bangun. Memulai aktivitasku pada pukul tiga pagi.

Pertama-tama, aku membereskan rumah terlebih dahulu. Kemudian mencuci baju dan piring. Jika aku mau, aku juga bisa memasak untuk sarapan pagiku. Intinya semua pekerja rumah aku lakukan sendiri. Sejak aku ditinggal orang tuaku demi pekerjaan mereka. Kala itu juga aku dipaksa keadaan untuk bisa mandiri. Aku punya seorang kakak yang sedang kuliah di Jogja. Ya, mungkin kalian akan berpikir bahwa keluargaku aneh lantaran kami yang tinggal masing-masing bahkan di provinsi yang berbeda. Namun, inilah kenyataannya.

Setelah semua pekerjaan selesai. Aku mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah. SMP-ku cukup jauh dari rumah, sekitar lima belas kilometer. Oleh sebab itu, aku berangkat pukul setengah enam pagi. Waktu di mana udara masih dingin disertai kabut, sang mentari saja masih belum terlihat.

Kedua ... berangkat sekolah. Berangkat sekolah saja sudah menjadi ujian tersendiri bagiku. Karena aku harus berjalan dari rumah ke jalan raya, lumayan jauh. Angkot yang aku tunggu pun datangnya lama. Selain itu, jika angkot penuh maka aku harus berdiri di pintu atau terserah di mana. Di atas pun diperbolehkan bila aku mau dan berani. Namun, ketika ada operasi polisi maka aku harus turun sebelum sampai tujuan.

Tidak selesai sampai di situ, aku juga harus transit di kota. Berhenti di terminal angkot dan jalan ke tempat bus. Jaraknya lumayan untuk membuat tubuh berkeringat. Positifnya mari kita anggap saja hal itu sebagai olahraga pagi. Setelah turun dari bus, aku juga harus kembali berjalan untuk dapat sampai di sekolah karena pemberhentian bus tidak tepat di depan sekolah.

Hingga telapak sepatuku menginjak gerbang, butuh waktu hampir satu jam. Inilah sebabnya kadang setelah subuh aku sudah berangkat. Padahal ada sekolah yang tidak sejauh ini, tetapi mengejar sekolah terfavorite satu kabupaten adalah permintaan ibu. Aku tidak bisa menolaknya, apalagi aku sudah mati-matian belajar agar nilai Ujian Nasionalku cukup untuk bisa masuk sekolah ini. Memaksakan otakku yang pas-pasan ini untuk bekerja sangat keras.

Sebagai tipe orang yang tidak begitu suka keramaian, langkahku berjalan memburu menuju kelas. Sampai-sampai aku tidak memerhatikan dengan siapa aku berpapasan. Begitu sampai di kelas aku langsung menuju markas ternyaman. Meja pojok kiri paling belakang--tempat dudukku. Dua tahu ini aku selalu duduk paling belakang, hanya berpindah dari kanan ke kiri begitu seterusnya.

Melemparkan tas ke atas meja, aku menjadikannya sebagai bantal. Melirik dahulu pada jam tangan usang yang tersemat di pergelangan kiri.

"Huh! Setengah jam lagi," gumamku pelan.

Dengan segenap niat yang sudah membara--niat untuk tidur tepatnya. Aku menenggelamkan wajahku di atas tas ransel. Memejam mata seraya berharap akan mendapatkan mimpi yang indah. Setidaknya untuk setengah jam ke depan aku merasa bahagia.

Sayangnya setengah jam itu terasa begitu singkat oleh alam bawah sadarku. Seperti baru saja memejamkan mata kemudian terbangun dan langsung disuguhkan pada jarum jam yang hampir lurus pada angka tujuh.

Muka bantalku ini pasti sangat suram sekarang. Seperti tidak bernyawa saking ngantuknya. Sampai-sampai aku tidak sadar sejak kapan Bu Emi, Wali Kelasku sudah ada di depan sana. Mataku tidak minus, tetapi untuk sekarang melihat wajah seseorang yang berdiri di samping Bu Emi itu blur.

"Selamat pagi semuanya," sapa Bu Emi dengan senyum ceria.

"Pagi juga, Bu," jawab kami serentak.

"Kalian dapat teman baru. Namanya Aileen. Silakan untuk saling sapa nanti ketika istirahat atau setelah selesai pelajaran Bu Emi, ya. Karena sesuai yang Bu Emi sampaikan minggu lalu bahwa hari ini kita ada remedial. Bagi yang tidak remedial bisa menunggu di Perpustakaan termasuk Aileen. Kamu bisa taruh tas kamu di pojok belakang ya, Nak. Sementara di sana kosong karena ada yang tidak masuk," jelas Bu Emi panjang kali lebar kali tinggi jadi volume.

"Baik, Bu. Terima kasih," kata anak itu.

Sialnya kursi kosong yang Bu Emi maksud adalah kursi Luna--persis di sampingku. Ah, aku paling risih kalau harus duduk dengan lawan jenis pada jam KBM seperti ini.

Sebelum anak itu sampai di markas ternyamanku, aku sudah lebih dulu beranjak dan meninggalkan dia. Untung sekali aku tidak remedial, otakku sudah memerintah untuk melanjutkan tidur.

Demi apa pun kali ini aku beruntung, Perpustakaan sepi pengunjung. Tentu saja karena ini baru masuk jam pertama. Di samping ruangan ini ber-AC, pengaturan tempat duduk yang bersekat tinggi semakin membuatku merasa merdeka. Tidur tanpa ketauan maksudnya.

"Luna, lo kenapa enggak masuk. Gue jadi khawatir," gumamku pelan. Luna tidak masuk tanpa memberi kabar terlebih dahulu padaku. Aku jadi kepikiran apa yang terjadi padanya. Merenung sambil menyangkal kepala dengan tangan kanan, suara langkah yang berhenti di sampingku membuatku menoleh.

Anak baru? Ngapain lagi dia nyamperin gue, batinku heran. Padahal ada sekitar lima belas anak di sini dan kenapa harus aku yang kamu datangi. Menggangu rencana tidurku, huft!

"Salam kenal," katanya menjulurkan tangan. "Adinata Aileen Caesar, nama gue."

Sesaat aku menggeleng heran. Anak itu tersenyum dengan ringannya di hadapanku, orang yang baru ia kenal. Entah aku yang introvert ataukah dia yang memang sangat humble.

"Oh, iya. Salam kenal kembali, nama gue Adeeva Afsheen Myeasha. Panggil aja Deeva," kataku seraya menjabat tangannya sesaat.

Tidak begitu peduli dan tertarik padanya saat ini, aku langsung membalikan badan lalu menata beberapa buku yang kubawa sebagai bantal. Herannya Aileen tak langsung pergi, ia malah berdiri di belakangku dan terkekeh? Ah mungkin di sekolahnya yang dulu ia tidak menemukan spesies yang seperti aku. Memanfaatkan setiap jam luang untung tidur.

🍂🍂🍂
.

.

Haha! Kamu ingat Aileen? Ini awal pertemuan kita, ruang kelas VIII A. Betapa cueknya aku ke kamu saat itu. Sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa kamu duduk di sampingku ketika di Perpustakaan. Kamu pasti menertawai muka bantalku yang konyol saat tidur.

Eccedentesiast - pikiran remaja || alur sedang dirombakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang