"Tangkap Deev!" seru Evan seraya melempar bola basket ke arahku. Karena dalam posisi tidak siap, bola itu justru mendarat dengan santainya di kepala.
"Aduhhh!" protesku. Sebenarnya tidak begitu sakit, itu hanya seruan karena reflek kaget saja. Kepalaku aman sentosa.
"Maaf, ngelamun sih. Gue kan lagi di dekat lo, masa masih lo lamunin juga. Haha," ledek Evan sambil mengelus kepalaku. Sontak aku langsung menepuk bahunya dengan tenaga dalam serta mengeluarkan saringgan! Plak! Dikiranya Naruto bawa-bawa saringgan.
Alih-alih ingin mengomeli Evan, aku justru memerhatikan bola basket yang terus menggelinding menjauh.
Brukk!
Sekarang bola itu justru membuat seseorang terjatuh. Bolanya benar-benar membuat sial, ini karena dipegang Evan. Bolanya tidak mau jadi ngambek dan merugikan.
"Eh, enggak apa-apa, Sen?" tanya Evan yang hanya dijawab dengan gelengan datar.
"Siapa?" tanyaku sedikit berbisik.
"Aksen, temen sekelas gue," jawab Evan.
"Maaf, Sen. Eh, main bareng, yuk! Udah lama--"
"Duluan," potong Aksen, kemudian pergi mengacuhkan ajakan Evan terhadapnya.
Setelah keberadaan Aksen sudah cukup jauh. Entah kenapa aku jadi penasaran sama dia.
"Sombong gitu ya?" pikirku.
"Woi Deev, udah bel masuk. Ke kelas gih."
🍂🍂🍂
Dari dalam kelas, aku bisa memerhatikan kelas VIII B yang tengah berolahraga. Kelas di mana terdapat Evan di sana.
Rasanya aku sudah seperti orang gila yang tertawa sendiri melihat wajah serius Evan menggiring bola. Jadi baby face-nya semakin lucu.
"Ha ha ha!"
Setelah tiba giliran kedua, aku melihat ada Aksen. Ia nampak cuek saat bermain. Aku juga jarang melihat dia menerima operan bola dari teman satu team-nya.
Dan terjadi lagi--dia jatuh. Tapi bukan seperti saat jam istirahat (jalan enggak fokus ketika turun tangga sambil main handphone, ada bola malah diinjak).
Loh kok bola bisa diinjak? Bukannya harusnya ke tendang yah?
Yap! Bola itu berhenti tepat di depan tangga. Ketika Aksen melangkah turun tanpa memperhatikan apa yang ada di bawahnya. Bukannya menginjak tangga terakhir, ia malah menginjak bola basket tersebut. Tapi kali ini dia jatuh bukan karena bola lagi, melainkan karena di tabrak lawan team-nya.
Dilihat dari lukanya, pasti itu sakit. Aku saja ngilu sendiri lihatnya. Kaki dan sikutnya lecet. Meskipun seperti hanya luka kecil, tetap saja itu pasti perih.
"Kok enggak ada yang nolongin?" tanyaku heran melihat mereka menertawakan Aksen, bukan malah menolongnya.
"Deeva!" panggil Bu Rani mengagetkanku.
"Eh ... hmm i-iya, Bu?"
"Coba katakan tugas apa yang barusan Ibu berikan?"
Savage!
Sejak awal aku tidak memerhatikan Bu Rani dengan baik. Lalu, tugas? Tugas apa?"Anu--tugasnya itu hmm ...."
"Apa yang hmm-hmm? Cepat maju kerjakan di papan tulis!" perintah Bu Rani.
Ini adalah sifat burukku, jika kalian ingin tahu. Bukan hanya kali ini saja aku tidak memerhatikan pelajaran, tapi bisa dibilang cukup sering. Apa alasannya? Entahlah aku sendiri masih bingung dengan kebiasaan burukku yang satu ini.
Tidak memerhatikan guru yang sedang mengajar adalah hal yang tidak sopan. Selain itu, hal ini juga akan merugikan. Jadi jangan sampai kalian sama sepertiku. Karena nantinya akan menyesal dengan tidak pahamnya kalian pada materi yang diabaikan. Untuk saat ini memang belum terasa efeknya. Namun begitu kelas IX. Penyesalan itu akan datang.
🍂🍂🍂
Setelah selesai melakukan terapi jantung di depan kelas. Sekarang ini aku sedang di dekat taman untuk bernapas lega.
Dari jarak yang tidak begitu jauh, aku bisa melihat Aksen di bawah pohon rindang dekat pagar. Ia seperti sedang membersihkan luka di sikunya dengan air mineral.
Aku hendak melangkah mendekatinya, sebelum akhirnya aku mendengar percakapan dua anggota PMR sekolah.
"Aksen kenapa tuh? Tolongin sana," ucap teman Friska.
"Enggak ah! Obatin sendiri juga bisa, males gue nolongin nolep kayak dia, enggak level banget," kata Friska ketus.
"Kan lo ketua, jadi panutan dong!"
"Hellaw. Lo sendiri apa? Anggota, kan? Tolongin sana!" seru Friska tidak terima dan kekeh dengan penolakannya untuk membantu Aksen.
Pada akhirnya, tidak satu pun di antara mereka yang menolong Aksen. Sekedar bertanya saja tidak dengan alasan karena--argh sudahlah. Menyebutkan kata-katanya saja aku tidak ingin.
Begitu mereka berdua selesai berdebat dan pergi, aku melangkah mendekati Aksen dan bertanya begitu sampai di hadapannya. "Mau gue bantuin?"
Mendengar tawaranku barusan, Aksen hanya melirikku sabentar. Kemudian merespon dengan berkata, "Gue bisa sendiri."
Tertolak!!!
"Lo pasti dengarkan ucapan anak-anak tadi. Jadi enggak perlu repot-repot bantuin anak no life kayak gue," jelas Aksen.
"Ya terus apa hubungannya tentang lo yang no life sama gue yang mau bantu lo? Enggak ada. Bantu ya bantu aja, enggak peduli lo mau no life kek, hidup kek, mati trus hidup lagi kek," timpalku.
Aksen hanya diam. Menatapku dengan manik matanya yang gelap. Kemudian membiarkanku untuk mengobati luka di lutut dan siku tangannya.
🍂🍂🍂
.
.Jika ingin menolong seseorang, lakukanlah dengan ikhlas
Jangan pilih-pilih!
Ini bukan pemilu!Dan, jika kalian berpendapat :
"Ah males nolongin anak yang biasa aja. Nanti bisa jadi omongan, enggak banget lah ya, gue enggak level sama dia. Mendingan juga nolonginnya yang sekelas kaya OSIS atau yang keren-keren lah. Kan enak tuh."Kalau kaya gitu, namanya CAPER! alias CARI PERHATIAN bukan MENOLONG :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast - pikiran remaja || alur sedang dirombak
Fiksi Remaja[ pesanmoral/teen/school ] Jangan dibaca dulu. Partnya lompat-lompat karena mau ganti alur. "Untuk mengingat. Juga untuk menghantam pemikiran diri sendiri." Adeeva Afsheen Myeasha. Ini mengenai kisahku semasa remaja. Tentang banyaknya hal yang ku...