13. Teringat bulan ramadhan

63 15 1
                                    

Aku membaringkan tubuhku di atas kasur. Ku tatap langit-langit kamarku yang kosong. Sekilas aku menoleh ke pigura yang sengaja ku taruh di meja samping tempat tidurku.

Foto keluarga. Hanya itu satu-satunya.

Foto itu kita ambil saat bulan ramadhan. Kapan? Mungkin saat aku kelas 2 atau 3 SD. Manisnya, saat itu aku masih bisa merasa bahagia. Setidaknya aku masih bisa berpuasa dengan anggota keluargaku. Namun tanpa ayah, karena beliau bekerja di luar kota. Selain itu aku juga masih bisa merayakan hari lebaran bersama. Ayahku akan pulang satu tahun sekali setiap hari raya tiba. Sayangnya semua itu tidak bertahan lama dan malah memburuk. Tentu hal itu terjadi dikala ibuku mulai bekerja bersama ayah.

Yah, jadi flashback, batinku.

Mengingat bulan ramadhanku tahun lalu. Saat aku harus mandiri dalam berbuka puasa ataupun sahur. Masak di sore hari atau beli. Lalu berbuka sendiri. Sahur juga sendiri dan menyiapkan makanan juga sendiri.

Tidak ada yang membangunkanku di pagi hari untuk sahur, hanya ada dering bunyi alarm yang setia menemaniku setiap hari. Dulu saat masih ada ibu, aku pernah kesal jika dibangunkan. Dengan alasan, aku masih sangat ngantuk dan bla bla bla. Tapi saat tanpa beliau, baru aku sadar. Betapa tidak menyenangkannya sendirian.

Aku juga sering hanya minum segelas air saat sahur. Itu karena aku masih kenyang. Kenyang perasaan.

Ketika berbuka aku juga menyediakan hanya makanan sederhana. Ya, tidak ada yang spesial atau istimewa. Yang selalu ada di meja makanku saat itu ialah es. Karena aku sangat suka dengan minuman dingin dan manis.

Lalu di lebaran kala itu, keadaan keluargaku semakin buruk. Semakin ke sini semakin tidak jelas dan renggang.

Lebaran terburuk yang pernah kurasakan. Dengan aku yang ada di sini. Ibuku yang tiba-tiba pergi ke kota A dan ayahku yang pergi ke kota B serta kakakku yang ada di kota C.

Tidak ada yang namanya jalan-jalan. Tidak ada yang namanya silaturahmi ke rumah-rumah tetangga bersamaan. Aku hanya diam di kamar. Sendirian.

Saat itu aku bertanya-tanya. Apa yang ayah, ibu, dan kakakku lakukan di tempat mereka masing-masing? Apa mereka bersenang-senang atau tidak? Ah sudahlah cukup, sampai di situ saja nostalgianya.

Bersyukurlah jika kalian menjalani bulan puasa dengan anggota keluarga kalian dengan utuh. Menyenangkan bukan? Setidaknya kalian tidak harus melakukan semuanya sendirian. Mungkin tidak akan terasa bedanya jika kalian belum pernah merasakan bagaimana rasanya menjalani bulan puasa sendirian. Kalau diibaratkan makanan, hampa tanpa rasa.

🍂🍂🍂
.
.

Karena kejadian itu, aku juga teringat dengan salah satu mimpiku.

"Jika berkeluarga nanti, aku akan berusaha untuk tidak membiarkan anakku merasakan apa yang aku rasakan saat itu."

Eccedentesiast - pikiran remaja || alur sedang dirombakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang