6. Menilai seseorang

120 35 35
                                    

Hari ini aku sangat senang. Saking senangnya sampai rasanya jam berputar lebih cepat dari biasanya.

Setelah dua hari berlalu, akhirnya brushpen pesananku mendarat dengan mulus di sekolah. Mungkin bukan hal spesial menurut kalian. Tapi ini berharga untukku yang hobi membuat lettering.

"Yeayy--"

Tiiinnn!

Suara klakson sepeda motor bergeming di telingaku. Langsung saja aku menatap ke arah empunya suara.

Cowok dengan motor ninja warna merah serta helm full face menutup wajahnya, ia berada tepat di belakangku. Aku pikir jalanku sudah benar di pinggir?

"Deeva!" serunya.

"Loh kenal gue? Kok gue enggak kenal ya," batinku dalam hati sambil menebak-nebak.

Saat ia membuka helm. Wajah Aileen muncul di sana. Aileen turun dari motor dan menghampiriku dengan senyum mengembang.

"Mau pulang?" tanyanya. Aku hanya menjawab dengan sebuah anggukan.

"Bareng, yuk? Kita satu komplek, kan?"

"Makasih sebelumnya. Gue sama Evan nanti," tolakku. Mengingat Evan sedang mengambil motornya di parkiran.

Tak lama kemudian, Evan datang. Ia menatap bingung ke arahku dan Aileen. Diposisi apa aku ini? Berada di antara dua cowok ganteng idaman sekolah. Setelah ini mungkin haters-ku dijamin akan menambah.

"Evan. Kenalin ini Aileen teman sekelas gue. Anak baru," kataku membuat mereka berdua berkenalan.

"Evan."

Aileen menyambut ramah uluran tangan Evan. Entah mengapa aku senang melihat mereka. Karena menurutku perteman antara anak cowok itu unik, nggemesin. Tapi bukan berarti aku suka dengan Gay. Salah.

"Ya udah, gue pulang dulu ya," kataku sambil melambaikan tangan pada Aileen.

Motor ninja warna hijau milik Evan melenggang bebas di jalanan yang sepi. Hari ini, aku dan Evan sudah berniat untuk pergi keperpustakaan yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Evan bilang, dia ingin mencari suatu buku. Jadi aku menemaninya berhubung aku juga suka membaca. Sesampainya di sana, aku melihat sesuatu yang seperti tidak asing. Alias motor Aileen. Benar saja, dia ada di dalam sana.

"Woahh ... ketemu lagi," ucap Evan sambil tos ala anak cowok.

"Haha. Gue tadi lewat sini, terus enggak tahu kenapa pengen mampir," tukas Aileen.

Evan dan Aileen mengobrol sangat akrab. Padahal mereka baru kali kedua ini bertemu. Sengaja aku tinggalkan mereka berdua yang asik mengobrol tentang motor. Aku tinggalkan mereka karena aku tidak paham dengan apa yang mereka bahas.

"Lo cowoknya Deeva, ya?" tanya Aileen.

Saat mendengarnya, kuhentikan langkahku yang hendak menjauh. Daripada nimbrung aku malah mengumpat untuk menguping.

"Ya gitu," jawab Evan cengengesan. "Ada apa?"

"Enggak apa-apa, hehe." Evan menggeleng.

Plak!

Aku terlonjak kaget ketika pundakku di tepuk seseorang. Sontak, aku menutup mulutku yang hampir teriak. Yang benar saja, Luna sudah nyengir kuda di belakangku dengan ekspresi wajahnya yang tanpa dosa. Entah dari mana arahnya datang dia sudah ada di sini.

"Santai aja kenapa? Kalau gue teriak ketahuan dong lagi nguping," protesku cemberut.

"Yaelah, enak amat sih ditemenin dua cogan gitu?" ujar Luna sambil melirik ke arah Evan dan Aileen.

"Huh?"

"Berteman sama anak-anak kalangan atas kaya mereka enak kali ya? Lo beruntung deh dekat sama mereka," ucap Luna lagi.

"What do you mean? Berteman itu sama siapa aja, asalkan positif Lunaaa," kataku tidak setuju dengan pendapat Luna yang tadi.

"Tapi enak kan? Kadang tuh gue mikir, pengen punya teman sama mereka yang famous gitu, biar ikut famous. Yang ganteng atau cantik. Yang punya jabatan atau nama di sekolah."

"Hmm? Berteman itu bukan lihat dari fisiknya maupun jabatan dan nama. Percuma punya banyak teman yang cantik atau ganteng terkenal pula tapi mereka enggak peduli sama lo kalau lo lagi susah. Lihat mereka dari sifat dan kepribadiannya," timpalku.

Jujur saja, bukan hanya Luna yang berpikir demikian. Tapi banyak temanku juga yang mengatakan hal sependapat.

"Tapi Deev, tampang mempengaruhi banyaknya teman loh. Apalagi teman cowok," ucap Luna.

Okay, mengenai jadi ( cantik ). Cewek mana yang tidak ingin terlihat cantik? Aku pun sama. Tapi—

"Apa cantik itu segalanya? Apa lo akan bangga kalau lo punya banyak teman cowok yang mengagumi kacantikan fisik lo, ketimbang cantiknya hati lo?" tanyaku.

Begini saja, semisal kalian punya 100 teman cowok. Dia berteman denganmu karena mengagumi kecantikanmu, siap siaga menolong dan membantumu juga karena kecantikkanmu. Lalu, bagaiman ketika ada masanya cantik itu pudar? Bukankah mereka akan meninggalkanmu?

Lain halnya dengan mereka yang berteman tulus denganmu. Bagaimanapun kamu, mereka akan ada untukmu. Senang dikala kamu senang, membantumu ketika kamu susah, menghiburmu saat kamu sedih, dan bukan meninggalkanmu saat kamu jatuh!

"Tapi anak cowok itu menilai dari fisik kita. Apalagi doi," kata Luna lagi.

"Astaga Lun, apa lo akan senang ketika lo punya doi yang suka ke lo dengan motif karena lo cantik? Gimana kalau ada cewek lain yang lebih cantik daripada lo di mata dia? Ditinggal atau diselingkuhin dah lo," timpalku.

Luna terdiam, ia tampak menimbang-nimbang setiap kalimat yang aku ucapkan.

Mengenai ini aku jadi ingin bertanya untuk kalian para kaum adam.

Bagaiman sih sudut pandang kalian terhadap kita para cewek? Jika memang fisik yang menjadi tolak ukur kalian dalam menilai seseorang. Apakah itu hal yang benar?

Juga untuk kalian para cewek? Bagaimana cara kalian dalam menilai seseorang? Apa tampang yang menjadi nilai utama untuk di ke depankan?

Bukannya seorang cowok yang akan menjadi imam kalian dimasa depan, menuntun kalian menuju surga dengan akhlak dan kepribadian yang benar? Bukan dengan tampang yang rupawan.

🍂🍂🍂
.

.

Sekarang, bagaiman cara kalian menilai seseorang?

Eccedentesiast - pikiran remaja || alur sedang dirombakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang