17. Kamu manis Evan

42 9 0
                                    

"Van?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Van?"

"Evan."

"Evannn!!!" seru Gerard.

Gerard adalah teman satu kelas Evan. Sejak tadi ia memanggil nama Evan berkali-kali tapi tidak ada respon. Geram—Gerard berseru dengan keras di samping telinga Evan.

"Senyum-senyum sendiri disangka gila nanti lo," ucap Gerard seraya duduk di samping Evan.

"Haha! Biarin aja." Evan masih sibuk memainkan ponselnya. Siapa lagi kalau bukan soal—hmm, u know.

"Dicariin sama Dante. Tadi anaknya di aula," ucap Gerard.

"Sekarang?"

"Besok! Tunggu lulus," jawab Gerard masih kesal.

"Haha, santai. Gue pergi dulu ya," kata Evan seraya menepuk pundak sahabatnya itu lalu pergi.

Soal Dante, ia adalah kakak kelas sekaligus ketua osis di SMP ku saat ini. Masa jabatannya sudah hampir usai. Karena sekarang posisinya kelas sebilan. Sudah waktunya Dante fokus dengan dirinya sendiri, yaitu mengenai persiapan ujian-ujian yang akan datang.

Tak lama kemudian aku lihat Evan juga beberapa anak lain yang baru datang. Evan melambai disertai dengan senyum, tapi Friska yang memberi balasan.

"Evan, sini duduk de—"

"Deeva ... yeh diem aja, bales senyum gue dong," kata Evan mengabaikan Friska dan memaluinya begitu saja.

Okay, mungkin tadi lambaiannya untukku? Lucu juga.

"Olvi, udah lengkap?" tanya Dante kepada Olvi, sekretaris satu, osis.

Olvi mengangguk lalu berkata, "Hanya ketua setiap ekstrakulikuler kan? Kalau iya, siap lengkap bos!"

Di Aula terkumpul sekitar lima belas orang di luar anak kepengurusan alias osis. Mereka semua adalah para ketua dari setiap ekstrakulikuler.

"Yoi guys, minta perhatiannya," kata Dante sambil menepuk tangan dua kali.

"Pertama, kenapa kalian dikumpulkan di sini? Karena ada yang mau gua sampaikan seputar acara peduli sosial. Ini bakal jadi program terakhir gue," jelas Dante yang kita perhatikan dengan hikmat.

"Peduli sosial, maksudnya?" tanya Friska.

"Iya. Jadi setiap ekstrakulikuler mengumpulkan dana/sumbangan dari setiap anggotanya. Bisa bentuk uang, makanan, atau kebutuhan hidup kaya baju misalnya," jawab Dante membuat kita semua mengangguk paham.

Cara Dante memang cukup efisien, agar tidak terlalu memberatkan para anggota osis dengan menyampaikannya ke tiap kelas. Dante melibatkan anak di luar kepengurusan osis, dengan ketua tiap ekstrakulikuler.

"Kalian bisa sampaikan ini ke anggota-anggota kalian ketika jadwalnya untuk ekstra. Tapi tolong minggu ini harus sudah disampaikan. Silakan bekerja sama dan memberi sekreatif kalian." Dante menarik beberapa lembar kertas di sampingnya yang kemudian diberikan pada Olvi.

"Ini formulirnya, di isi sesuai templat yang ada. Kita dari osis tidak memaksa semua wajib bersedekah, silakan untuk yang ikhlas saja." Olvi membagikannya satu per satu.

"Kak, mau tanya." Aku mengangkat tangan. Dante menoleh ke arahku yang duduk di sebelah kiri. Yang lainnya masih sibuk membaca templat dan informasi yang tertulis di dalam formulirnya.

"Iya Deev?"

"Untuk anak yang belum masuk ekstrakulikuler gimana?" tanyaku mengingat pada ... Aileen.

"Minggu ini akan diminta pendataan baru. Untuk yang belum masuk ekstrakulikuler pasti wajib masuk nantinya atau kan—ada pramuka? Semua pasti ikut pramuka karena wajib," jelas Dante.

"Ok. Terima kasih kak." Aku mengangguk. Dan kenapa malah aku kepikiran soal Aileen? Bagaimana kalau Evan ne-think dan tunggu, biar aku menoleh.

"Np dear. Caring with a friend doesn't wrong," ucap Evan yang paham akan pertanyaan yang merujuk pada Aileen.

Sungguh peka. Sangat peka. Jadi, apa aku punya alasan tidak menyukaimu? Huft, hatiku memang bodoh.

Meski sekarang Evan menjawabnya dengan ringan dan cengiran. Aku tetap tidak tahu bagaimana hatinya. Maaf Evan.

Rapat ini masuk berlanjut dengan pembahasan selanjutnya juga deadline pengumpulan dana.

Kita semua kembali ke kelas begitu semua pembahasan telah usai. Di depan  yang lainnya, Evan menggandeng tanganku. Berjalan mendahului mereka dan mengajakku memutar jalan untuk kembali ke kelas. Biar lebih lama katanya.

"Pemilihan osis yang akan datang. Gue nggak akan masuk Deev," ucap Evan tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Banyak waktu gue kesita di osis. Jarang sama lo. Jadi ... kalau guru nyuruh gue lagi, gue akan nolak. Demi Deeva," jawab Evan menebarkan senyum.

Senyummu manis Evan. Kamu banyak senyum di hadapanku.

"Kalau Evan suka berorganisasi di osis. Lanjutin aja, jangan karena gue malah lo ngorbanin apa yang lo suka. Kita sama-sama punya kesibukan, waktu ini nggak bisa diulang. Lakukan apa yang menurut Evan benar, jangan salah langkah yaa," ujarku.

Aku tahu Evan punya cara memimpin yang baik, karena dia juga ketua dari esktrakulikuler basket. Humble juga gampang membaur.

"Gue ingin ada banyak waktu buat lo Deev. Orang yang gue sayang adalah prioritas," ucap Evan menatapku lekat-lekat.

"Emang, seberapa lama kita bareng dalam setiap harinya bukan pengaruh soal hubungan kita. Karena kita berkomitmen. Jadi bukan masalah jika jarang bareng ataupun sering bareng. Tapi lagi dan lagi, gue ingin punya banyak waktu untuk lo," lanjut Evan masih memerhatikanku.

"Hmm. Pikirkan lagi ya, jangan karena rasa jadi—"

"Jadi sekarang gue tambah suka sama Deeva," potong Evan seraya menarik hidungku.

"Ah bullshit! jahilnya mulai!" seruku kemudian menggembungkan pipi.

"Serius Deeva ... apa sih yang nggak serius kalau soal doi." Evan menoel pipiku lalu lari dengan tawanya yang ditahan.

"Evannn!" Aku ikut berlari dan mengejarnya sambil menggerutu, "Awas aja! Gue jambak rambut lo!"

🍂🍂🍂
.
.

Sejauh ini masih bingung dengan diriku sendiri. Kenapa hati ini masih tidak bisa menyukai mu Evan?

Eccedentesiast - pikiran remaja || alur sedang dirombakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang