18. Kita kurang bersyukur

58 10 0
                                    

Seminggu telah berlalu. Semua informasi telah tersampaikan kepada setiap anggota. Sesuai info yang ditulis pada formulir, sabtu ini adalah waktunya pengumpulan dana pada bendahara osis.

Sepertinya semua esktakulikuler memilih untuk memberikan uang. Begitupun dengan yang aku pegang.

Kita kembali dikumpulkan di aula sekolah. Mengupulkan semua dana kepada Evan selaku bendahara satu. Kita juga mengembalikan formulir waktu itu yang berisi templat untuk di isi.

Begitu selesai kita semua boleh kembali ke kelas. Tapi ....

"Boleh bicara sebentar kan?" tanya Dante menatapku.

Aku melirik ke arah Evan sebentar. Dia masih sibuk menghitung uang yang masuk dengan para osis inti lainnya. Kembaliku tatap Dante yang menunggu jawabban. Aku mengangguk.

"Depan aja ya," ajaknya berjalan mendahului. Di depan aula Dante mengajak aku bicara banyak hal. Tentang progam peduli sosial ini.

Semua uang yang masuk, setengahnya akan dialokasikan menjadi makanan. Yang nantinya itu semua akan dibagikan ke anak-anak jalanan.

Jadi apa hubungannya dengan Dante yang mengobrol padaku?

"Kalau bisa, makanan dalam box isinya buatan tangan sendiri. Gue percaya masakan lo enak. Kita semua anak yang sekolah di sini udah pernah ngerasain masakan lo waktu camping. Lo boleh ajak anak life skill bagian tataboga untuk bantu lo dan kita. Nanti osis yang akan sediain semuanya. Lo tinggal arahin kita," jelas Dante panjang lebar.

"Gimana? Bisa bantu?" tanya Dante memastikan.

Aku sedikit ragu. Khawatir masakannya akan gagal. Tapi aku tidak boleh nethink, di samping itu Dante juga terus meyakinkan aku.

"Ok Mas Dante," putusku akhirnya.

🍂🍂🍂

Hari berikutnya, Minggu. Aku menjalankan tugas yang telah Dante berikan padaku. Semua anak tataboga juga turut serta membantu. Kita semua bahu membahu menyelesaikan sekitar 80 box makanan.

"Evan," panggil Dante.

"Iya, mas?"

"Lo boleh sana temani Deeva. Urusan lo biar gue yang kerjain. Lagian gua nggak ngapa-ngapain. Lo bantuin Deeva ngarahin mereka atau ada perlu apa," ucap Dante memerhatikanku. Sepertinya ia sadar jika aku sedikit kerepotan.

"Baik, mas."

Evan menuruti perintah Dante dan menyusulku. Cengiran kuda ia tampilkan di hadapanku tanpa henti. Giginya bisa kering. Haha!

"Apaan sih Van?" tanyaku merinding. Dia jadi seperti orang yang mesem-mesem sendiri.

"Nggak apa-apa, Deev. Senang aja," jawabnya.

"Senang karena?"

"Karena hari ini gue seharian sama lo."

Deg! Lagi-lagi Evan bersikap yang manis. Harusnya aku senang karena Evan senang. Tapi justru sebaliknya, aku malah sedih. Sedih karena kamu bertepuk sebelah tangan, Evan.

Meskipun begitu aku akan tetap tersenyum untukmu. Kita bercanda, kita bersama, kita saling membantu dan melengkapi hari ini. Hari yang bagus bukan.

Jam dinding menunjukkan jarum pendekkan pada angka tiga. Semua kotak nasi sudah selesai dan siap dibagikan.

Kerja sam kita berjalan dengan lancar. Kita bersorak karena senang. Dante juga mengucapkan terima kasih untuk semuanya. Mengenai membagikan makanan, itu bebas. Anak-anak tataboga boleh ikut boleh tidak.

"Ikut ya, Deev!" seru Evan antusias.

Aku mengangguk dengan senyum.

Perempatan kota yang letaknya tidak jauh dari sekolahku menjadi tempat tujuan kita. Di sana biasanya banyak pengamen dan anak jalanan. Karena tidak jauh dari sana juga terdapat jembatan. Jembatan yang biasanya dijadikan tempat tidur oleh mereka.

Kita semua berpencar dalam team. Dante dan Aron, wakin ketua osis yang membagi tiap kelompoknya. Per kelompok terdiri dari empat anak.

Dan Evan bersamaku, juga dengan Dante dan Reis. Bagi yang belum kenal Reis, Reis adalah anak kelas 9D. Ia sekretaris dua dalam osis.

Melihat suasa saat ini rasanya aku senang. Bisa membantu sesama meski sederhana. Dari uang yang mungkin bernilai tak seberapa lalu dikumpulkan menjadi satu, jadilah semua ini. Aku bangga pada Dante. Masa-masa kepemimpinannya memang bagus.

Aku juga bangga pada Evan, tidak-tapi aku bangga dengan kita semua yang ikhlas memberi. Sedekah tidak harus menunggu kaya. Yang perlu adalah kemantapan hati.

Sret!

"Mba, mohon bantuannya."

Seorang anak kecil menarik ujung dari jaket yang aku kenakan. Dia sangat kecil, mungkin sekitar kelas 1 atau 2 SD.

Dante menjulurkan kotak makanan. Anak kecil itu menerima dengan mata berbinar.

"Ini dari kita, untuk adik," ucap Dante.

"Makasih banyak kakak-kakak, semoga kebaikannya dibalas lebih dan lebih," katanya dengan suara yang lucu.

Kita berempat mengangguk. Mengulaskan sebuah senyuman untuknya. Ia balas dengan sangat-sangat ceria dan bahagia. Ditambah lagi dengan Evan yang memasukkan lembaran uang kertas ke plastik permennya. Bahkan anak kecil itu sampai bersorak, yeay yeay yeay!

Melihatnya, kini aku sadar. Ketika aku seusianya dulu. Mungkin aku akan merengek jika tak diberi uang jajan. Aku akan merengek jika aku tak pakai sendal karena kulitku sensitive pada debu dan di aspal yang panas ini dia telanjang kaki. Juga, aku tidak akan mau berpanas-panasan di jalan. Apalagi untuk meminta-minta kepada orang.

Pasti aku hanya akan bisa menangis. Aku tidak sekuat anak kecil ini.

Aku pernah menuding diri merasa menjadi yang paling tersiksa. Tapi aku salah. Anggapanku itu salah. Karena dalam hidup, aku hanya menatap yang di atasku. Aku tidak mau sedikit menunduk dan melihat ke bawah.

Banyak di luar sana kehidupan orang lain yang jauh bahkan sangat jauh lebih sulit dari kehidupanku. Tapi aku tidak menyadarinya karena aku terus dan terus menatap ke atas.

Melihat kesuksesan orang lain. Kebahagiaan orang lain. Semua yang serba di atasku.

Sekarang aku paham. Bukan Tuhan tidak adil dengan memberiku cobaan yang dirasa begitu berat. Tapi akulah yang salah, aku kurang bersyukur. Atau bahkan aku tidak mensyukuri apa yang aku punya sekarang.

"Hmm." Evan berdehem.

"Pasti mikirin sesuatu ya? Dari tadi diam aja," ucapnya yang memerhatikan.

"Iya. Yah, pelajaran."

"Pelajar hidup setelah lihat mereka semua? Gue juga sih," kata Evan menerawang.

"Gue pernah punya prinsip untuk terus menatap ke depan tanpa mau melihat ke belakang. Di mana gue akan menatap orang-orang yang skillnya di atas gue. Tapi sekarang, gue akan lihat ke belakang juga. Gue akan syukuri apa yang gue bisa. Karena dengan menatap sebentar ke belakang, itu bisa jadi pelajaran hidup. Jatuh bangunnya alur kehidupan," ujar Evan dengan tatapan menerawang.

"Iya. Lo benar, Van." Aku menatap Evan. Begitupun sebaliknya.

"Saatnya sadar dan bersyukur serta tidak berhenti berjuang," lanjut Evan lalu mencubit hidungku dengan jahil.

🍂🍂🍂

Bukan Tuhan tak adil. Hanya saja diri ini yang bermasalah.
Kurang bersyukur.
Just it.

Yang selalu menatap ke atas tanpa mau menunduk. Yang berprinsip melihat ke depan tanpa mau menengok ke bekalang.
Kini kita tertampar kenyataan. Hati ini salah mengartikan kehidupan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Eccedentesiast - pikiran remaja || alur sedang dirombakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang