14. Seorang teman

58 19 1
                                    

Brakk!!

Aku tersentak kaget ketika Luna menaruh dengan kasar beberapa buku tebal ditangannya itu. Wajahnya sudah cemberut dengan bibir yang manyun sepuluh senti, ups!

"Sebel banget gue, awas aja kalau dia butuh. Nggak gue tolongin," keluhnya menggerutu.

"Loh kenapa? Siapa?" tanyaku tidak tahu.

"Siapa lagi kalau bukan temen lo tuh. Renan," jawabnya.

"Oh Renan. Dia juga temen lo kali," kataku.

Tiba-tiba Luna menggeser posisi duduknya dan menghadap persis ke arahku. Ia menatapku dengan tatapan sebal. Aku salah apa?

"Lu—"

"Ssttt! Gue mau curhat. Dengar baik-baik ya!" serunya dengan tatapan serius.

Yaa, semoga bisa menjadi pendengar yang baik. Meskipun mood ku sedang mendung. Tapi ketika ada teman yang membutuhkan sebagai pendengarnya, itu artinya dia percaya dengan kita. Usahakan untuk tidak mengecewakannya. Meskipun nantinya kita tidak bisa memberi saran atau nasihat. Tidak apa-apa, setidaknya responlah pembicaraan teman kita. Jangan sampai dia sudah bercerita panjang kali lebar tapi kita hanya "iya", " iya", saja tidak mendengarkan. Itu artinya kita tidak menghargainya.

Diri sendiri saja tidak bisa menghargai orang lain, jangan protes kalau orang lain tidak menghargai juga!

Namun, bukan berarti kita harus memaksakan diri, kalian punya hak masing-masing. Tolaklah jika kiranya dalam keadaan sedang tidak bisa menjadi pendengar teman curhat. Mungkin itu lebih baik.

Dan sebagai pembicara atau yang curhat juga harus lihat kondisi yang tepat.

"Iya. Lo sama Renan kenapa?" tanyaku.

"Jadi gini, Renan itu sering chatting-an sama gue. Dia curhat sama gue. Kalau BUTUH datang juga ke gue. Memang sih bisa bilang kita sering banget main bareng. Tapi ternyata kaya gitu," jawab Luna.

Setahuku Luna dan Renan adalah teman dekat. Bahkan jika dibandingkan denganku, Luna lebih sering dengan Renan.

"Kaya gitu gimana?"

"Yah gimana ya, sebenarnya gue nggak pengen ngomongin dia apalagi yang jelek. Karena dia teman dekat gue sendiri. Tapi lama kelamaan gue nggak bisa sabar untuk mendemnya."

"Pertama, selama berteman sama Renan. Gue akan bantu Renan kalau dia susah. Semampu gue. Tapi Renan nggak bantuin gue kalau gue lagi susah, dia tinggalin gue."

"Kedua, gue respon semua curhatannya dan gue ladenin meskipun kadang gue sibuk. Ya karena kita teman. Tapi dia nggak bisa ada buat gue, cuman gue yang berusaha ada buat dia."

"Ketiga, ketika Renan dapat teman baru alias kenalan baru. Dia bakal lupa sama gue. Balik laginya kalau butuh doang. Lama-lama gue sebel sama tingkahnya yang seenak jidat."

Luna mendengus berat setelah ia selesai menjelaskan. Sebenarnya Luna tidak sepenuhnya kecewa dengan Renan. Dia hanya berharap agar dirinya bisa dimengerti oleh Renan. Dalam pertemanan memang sulit. Saat di antara keduanya hanya ada satu yang mau mengerti dan tidak untuk satunya lagi.

"Tapi Lun, menurut gue nggak ada yang namanya teman lama atau teman baru. Sama- sama teman kan? Dan untuk Renan—"

"Ah udahlah kesel gue sama Renan. Capek sama kelakuannya. Jadi males buat baik sama dia," potongnya dengan nada ketus.

"Loh Luna. Jadi lo bersikap baik untuk mengharapkan diperlakukan baik juga? Bukannya kita bersikap baik harusnya ikhlas dan nggak mengharap timbal balik ya? Lagian bersikap baik nggak ada salahnya loh," tanyaku, membuat Luna terdiam dan tidak langsung menjawab.

"Iya sih. Dan ... lo habis makan buku kata-kata bijak ya?" jawabnya seraya bertanya sambil cengengesan sedikit.

"Bukan cuman bukunya. Setoko-tokonya gue makan buat sarapan." Aku dan Luna tertawa. Garing padahal.

"Eh, Deev. Menurut lo apa sih definisi teman yang sebenarnya?" tanya Luna tiba-tiba.

"Hmm apa sih ya? Mungkin, teman yang sebenarnya itu yang mau berusaha saling mengerti, ada di saat kita jatuh dan nggak ninggalin kalau dianya bahagia atau punya teman lagi. Apalagi kalau datangnya cuman kalau butuh, apaan tuh? Dan nggak membeda-bedakan tentunya," jawabku.

Hanya sebuah pendapat, kalian boleh berpendapat lain.

"Dasar Deeva. Gue jadi inget sama diri sendiri yang pengen punya teman high class biar kelihatan wah. Jadi malu," ucap Luna lalu memalingkan wajahnya dariku.

Sungguh aku tidak berniat untuk menyindirnya sama sekali. Tapi sayangnya, banyak di antara kita yang mencari sekedar teman dan bukan teman yang sebenarnya.

Contohnya, jika kalian diminta untuk memilih. Berteman dengan si A yang kaya raya lalu kalian sering di ajak main ke sana-sini gratis lalu berfoya-foya. Atau sama si B yang malah seringnya ngajak ibadah.

Kebanyakan pasti akan memilih si A ? Karena apa? Kita berpikir bahwa itu WAH! Padalah lebih baik dengan si B yang malah menunjang baik untuk masa depan kita di akhirat.

Kalau seperti itu, itu namanya hanya teman. Sebatas kenal dan main bersama.

Tapi jangan menyalahkan orang lain. Karena itu tergantung pada diri kita sendiri, bagaimana pandangan kita, cara kita memilih yang lebih baik. Dan tidak tergoda dengan kenikmatan semata.

Dan jangan berpikir bahwa, "Oh jadi kalau teman saja itu negatif dan teman sebenarnya itu positif? Bukan begitu maksudnya."

Teman vs Teman yang sebenarnya.
Pilih mana?

🍂🍂🍂
.
.

Sejauh ini, aku tidak merasa MENJADI teman yang sebenarnya, maaf. Tapi terima kasih untuk kalian yang sudah mau menjadi temanku.

Eccedentesiast - pikiran remaja || alur sedang dirombakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang