Sebuah tepukan di bahu mengejutkan tidurku, ternyata aku telah tertidur cukup lama sampai pelajaran Bu Emi usai. Memerhatikan sekitar, aku sudah tidak melihat ada teman satu kelasku. Mereka pasti keluar lebih dulu kala bel berdering.
"Masuk jam pelajaran ketiga. Teman-temanmu sudah keluar semua," katanya dengan wajah sedikit hampir marah. Bagaimana tidak? Perpustakan adalah tempat untuk membaca, tetapi aku dengan santainya tidur.
"Terima kasih, Pak. Maaf saya ketiduran," ucapku berdusta karena pada nyatanya aku memang sengaja bukan tidak sengaja.
Tanpa basa-basi lagi aku langsung beranjak dan berjalan dengan gontai menuju kelas. Sekeluarnya dari perpustakaan, aku meraih sepatuku dan duduk di pelipiran. Mengikatkan tali dengan malas seraya mengumpulkan nyawa. Kacau ... hari ini rasanya seperti tidak ada gairah hidup.
"Hoam!"
Sebelum berdiri, sepasang sepatu berhenti tepat di hadapanku. Begitu mendongak kepala, aku justru menemui penampakan wajah si anak baru.
"Kelas kosong," katanya tiba-tiba.
Butuh waktu untukku mencerna dua kata yang ia ucapkan tanpa kata penjelas lainnya. Meski bisa bertanya, sayangnya aku malas. Tidak ingin berlama-lama dengannya, aku hanya mengangguk seakan paham. Yah, paham sedikit. Mungkin, itu pun jika pemikiranku tidak meleset. Di saat-saat seperti ini otakku memang off.
Oiya, pasti kalian bertanya-tanya kenapa tidak ada teman yang membangunkanku tadi. Jangan heran kawan. Kelasku terdiri dari beberapa kubu atau kasarnya kita katakan geng (?) Aku bukan salah satu dari mereka, jadi wajar mereka tidak peduli. Ditambah lagi karena aku ini netral tidak memihak. Maka aku tidak punya kuasa apa pun.
"Deeva," panggilnya membuntuti langkahku.
Aku bahkan tidak berhenti dan pura-pura tidak dengar. Ingat 'kan bahwa aku risih dengan keramaian apalagi beberapa tatapan intens anak-anak sebab Aileen. Sebut saja aku punya banyak haters meski aku tidak menganggapnya seperti itu. Namun, kenyataan berkata lain dari anggapanku.
"Deeva," panggilnya sekali lagi. Langkah kita sudah sejajar, ingin sekali mengelak tapi tidak ada jalan minggat.
"Hm," sahutku seadanya.
"Lo mau ke mana? Kelas kita sama, kok lo ke arah lain?" Dia mulai celingukkan bingung.
"Kantin. Setelah pelajaran ini istirahat. Lo bilang kelas kosong. Jadi gue mau jajan," jelasku.
Aileen menggaruk tengguknya, dia melihatku dengan keheranan. Iyalah karena kebanyakan siswi itu rajin dan bukan pelanggar aturan, sedangkan aku malah seperti badgirl. Tapi percayalah bahwa aku tidak seperti ini setiap saat, hanya ketika mood rusak saja.
"Gue ikut deh."
"Kalau ketahuan kita bisa kena hukuman dari BK. Dipajang di lapangan, mau?" tanyaku menakut-nakuti. Berharap dia akan membatalkan keputusannya, namun ... ekspetasiku dihancurkan dengan raut wajahnya yang tiba-tiba sumringah.
"Mau," jawab Aileen dengan yakin.
"Haha, aneh," ujarku sambil terus berjalan dengan tawa yang garing.
"Di sekolah gue yang dulu, gue udah biasa usil. Jadi, lo enggak perlu kaget," jelasnya tanpa aku minta.
Kalau dari penampilan, Aileen berpakaian sangat rapih. Sejak awal ia juga terlihat seperti anak yang santun dan tidak nakal. Ternyata salah, aku tertipu ketampanannnya sehingga membuatku berpikir dia murid teladan. Tapi kenyataannya Aileen malah mengakui bahwa dirinya sendiri adalah anak yang usil.
Sesampainya di tempat tujuan, aku langsung menarik satu buah roti sisir kemudian membayarnya dan pergi. Niatku untuk kembali ke kelas. Herannya Aileen masih saja mengikuti. Spntak aku menepuk jidat dengan keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast - pikiran remaja || alur sedang dirombak
Fiksi Remaja[ pesanmoral/teen/school ] Jangan dibaca dulu. Partnya lompat-lompat karena mau ganti alur. "Untuk mengingat. Juga untuk menghantam pemikiran diri sendiri." Adeeva Afsheen Myeasha. Ini mengenai kisahku semasa remaja. Tentang banyaknya hal yang ku...