Aku melangkahkan kakiku menuju dapur. Menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak. Tentunya hal ini pasti aku lakukan setiap hari. Terkecuali jika aku beli makanan siap saji. Yah, bersyukurlah kalian yang jika hendak makan tinggal mengambilnya di atas meja atau justru sudah di siapkan.
Sorenya aku pergi ke mushola dekat rumahku. Di sana aku mengajari anak-anak kecil untuk membaca iqro. Terkadang aku senang melihat tingkah lucu mereka. Rasa kesepianku hilang sesaat.
Tidak berakhir sampai di situ. Aku juga sering mengajari anak-anak SD untuk menari. Dan lewat kegiatan ini, aku mendapatkan uang setiap latihannya.
Aku bukan orang kaya yang meminta uang pada ayah dan ibu, mereka langsung memberinya dengan cuma-cuma. Tidak. Sama sekali tidak. Dan apa jatah yang diberikan selama seminggu itu cukup? Tergantung.
Jadi, dari mana aku harus menutupinya jika kurang? Aku manfaatkan setiap kegiatanku yang menghasilkan uang. Termasuk juga hobiku. Dijadikan semacam kerja sampingan.
Aku sempat berpikir untuk berangkat dan pulang sekolah dengan gratis. Caranya ... dengan punya gebetan yang rela mengantar ke sana kemari. Seperti hari saja, jika aku ketinggalan angkot terakhir tadi. Maka aku akan jalan kaki atau terserah bagaimana aku harus cari solusinya sendiri. Iya ada ojek, tetapi mereka tidak gratis kan. Sedangkan aku wajib irit uang.
Oiya, sekitar satu bulan lalu. Aku bertemu dengan Evan. Kelasnya bersebelahan dengaku. Aku tidak sengaja melemparkan bola voli ke kepalanya dan karena hal itu aku kenal lebih jauh dengan Evan. Sikapku yang selalu merasa bersalah membuat Evan terus-terusan menjahiliku dan kita pun jadi dekat.
Sedikit perkenalan, Evan adalah salah satu murid yang memiliki eksistensi tinggi di sekolah. Sebenarnya aku sudah mengenal Evan sebelum kejadian--kecerobohanku melempar bola ke kepalanya. Dia terkenal karena pempilannya yang fashionable dan barang-barang yang jelas terlihat mahal dari mereknya. Sudah jelas bahwa Evan dari keluarga ekonomi menengah atas. Selain itu, sikap baiknya semakin membuat ia sering diperbincangkan.
But, do you believe me? Sekarang ini Evan adalah pacarku. Satu hal yang perlu kalian tahu. Bukan aku yang nembak terlebih dahulu, tetapi Evan. Aku sempat bingung dan heran. Kenapa dia suka dengaku? Padahal aku hanya cewek biasa atau malah sangat biasa di sekolah. Kasarnya katakan saja kita tidak satu level. Dia terlalu tinggi untukku yang berada di dasar.
Herannya--sampai detik ini aku sama sekali tidak suka dengan Evan. Jujur, aku hanya memanfaatkan Evan karena aku lelah jika pulang harus jalan kaki ketika krisis uang.
"Maafin gue, Van. Gue tahu gue salah. Tapi gue akan berusaha untuk suka sama lo. Bukan terpaksa kaya sekarang," kataku sambil memandang fotonya di handphone.
Tidak lama kemudian ada deringan dari notifikasi khusus dan memunculkan kontak Evan di bar status. Segera aku membukanya.
🍂🍂🍂
Pukul 05.45 WIB. Aku mendengar suara deru motor di luar. Siapa lagi kalau bukan Evan. Dia sudah bertengger di samping motornya yang keren. Eh Orangnya juga tidak kalah keren. Memuji doi sendiri tidak apa-apa kan.
"Selamat pagi," sapanya dengan senyum manis. Aku pun membalasnya dengan hal yang sama. Aku ingat sekali setiap senyumanmu yang selalu membuatku juga tersenyum.
"Deev, itu ada yang jatuh," katanya menunjuk ke belakangku. Aku pun menoleh dan ....
"Hih, apaan sih? Enggak ada yang jatuh kok," keluhku.
"Ada kok," timpal Evan tersenyum jahil seraya mencubit pipiku.
"Apa?"
"Pipi tembem kamu."
Plakkk!
Tanpa segan aku memukul pundaknya dengan kencang sampai dia meringis kesakitan.
"Ah! Ganas banget si, Deev," protesnya.
"Bodo! Kamu nyebelin sih. Udah dong ayo berangkat, nanti telat!" seruku menyeret-nyeret lengan Evan. Meskipun aku tidak mencintai Evan, tetapi sikap manisnya tentu mampu membuatku melayang dan tidak karuan.
"Siap! Komandan!"
Plakkk!
"Ah! Deeva yang baik hati dan cantik apa salah gue? Belum ada setengah hari kita bareng lo udah pukul gue dua kali," protes Evan ketika aku memukulnya lagi dengan sontak.
"Tas lo enggak ditutup satu. Ceroboh! Kalau isinya pada jatuh gimana coba," marahku sambil menutup resletingnya.
Aku sempat tertegun sesaat. Evan membawa mata pelajaran di mana itu adalah jadwal kelasku, bukan kelas Evan. Pantas saja tasnya hamil lebih besar dari biasanya. Aku jadi ingat, Evan sering memberiku rangkuman materi yang aku keluhkan padanya. Merengek aku tidak bisa. Dia merangkumkannya untukku.
Terima kasih, Evan, batinku setelah mendengus pelan dan berkata, "Sudah, yuk jalan!"
🍂🍂🍂
.
.Jika waktu yang berlalu masih bisa kuputar ulang. Aku menyesal telah memanfaatkanmu Evan. Aku yang telah menyakitimu, aku yang tidak menghargaimu.
Kini menyesal.Maaf ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast - pikiran remaja || alur sedang dirombak
Teen Fiction[ pesanmoral/teen/school ] Jangan dibaca dulu. Partnya lompat-lompat karena mau ganti alur. "Untuk mengingat. Juga untuk menghantam pemikiran diri sendiri." Adeeva Afsheen Myeasha. Ini mengenai kisahku semasa remaja. Tentang banyaknya hal yang ku...