Pada hakikatnya, wanita itu senang terhadap hadiah. Dan hadiah pertamanya, adalah sebuah nama yang indah dari sang Ayah. Hadiah yang akan dibawa sepanjang hidup dan matinya nanti. Terimakasih ayah
____
Tirai jendela berterbangan membiarkan angin diluar masuk kedalam kamar. Sesekali ia menerbangkan ujung mukena yang dipakainya. Gadis itu melihat sejenak keluar jendela memastikan apakah langit mendung atau tidak.
Tatapannya kembali kepada mushaf yang tengah dipegangnya. Ia menghela nafas lega karena target satu juznya hari ini sudah tercapai. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu. Ia bergegas bangun untuk membukakannya.
Sang ayah sudah pulang. Ia sudah begitu menghafal ketukan pintu itu sejak umurnya enam tahun. Ya, ketukan pintu ayahnya setiap pagi saat pulang dari mesjid. Seperti biasa ia menyalaminya dahulu.
"Ini ayah belikan nasi lemak pak hasan kesukaanmu.", kata ayahnya seraya memberikan sebuah bungkusan nasi.
"Kok cuma satu? Untuk ayah tidak ada?"
"Ayah sudah makan disana"
"Oh. Ayah mau Dhuha buatkan kopi atau teh?"
"Tidak perlu dhuha. Ayah buru-buru mau ke kebun. Alhamdulillah, hari ini panen cabai."
"Baiklah ayah, Dhuha makan dulu".Dengan semangat ia langsung bergegas ke ruang makan, ia merasa tidak sabar ingin segera menghabiskan nasi lemak pak hasan kesukaannya. Sudah dua minggu ia tidak memakannya karena pak hasan pulang ke rumah anaknya di Lampung.
Setelah bersiap-siap, ayahnya datang menghampiri. Ia tersenyum melihat putrinya yang sedang makan dengan lahap. Padahal itu hanya sebungkus nasi lemak pak Hasan,"gimana sudah sembuhkan pengennya?".
Ia tertawa kecil."sudah ayah"
"Kalau begitu ayah ke kebun dulu ya".Ia mengangguk kecil. Diam-diam ia memerhatikan langkah ayahnya. Langkah yang selalu ingin perhatikannya setiap hari. Langkah yang kian hari semakin lambat sejalan dengan usia sang ayah yang semakin tua.
Dalam hati ia berbisik, terimakasih ayah, terimakasih karena ayah sudah menjaga Dhuha sejak kecil, terimaksih karena ayah sudah setia pada Dhuha, terimakasih karena sudah menjadi sosok ayah sekaligus ibu bagi Dhuha.
Adzan maghrib berkumandang. Seperti biasa ayahnya kembali berangkat menunaikan shalat maghrib di mesjid dekat rumah. Usai membaca Al-qur'an, tiba-tiba ia kembali teringat sebuah album yang ada disalah satu laci lemari ruang tamu. Album lama yang sudah lusuh, namun sangat berharga baginya.
Sambil menunggu ayahnya pulang untuk makan malam, ia kembali membuka album itu. Seperti biasa, tanpa diminta air matanya langsung menetes. Ia melihat gambar ibu dan ayahnya saat acara walimah pernikahan dulu. Sang ibu terlihat begitu cantik dan sang ayah pun tidak kalah tampannya. Lembar selanjutnya ada gambar ibu sedang menggendongnya ketika bayi. Wajahnya terlihat begitu bahagia.
Ibu, aku sangat merindukanmu, gumamnya dalam hati.
Ibunya meninggal saat usianya menginjak lima tahun akibat diserang penyakit DBD. Sejak saat itu sosok ayah lah yang mengurusnya bersama nenek, lalu dua tahun berikutnya sang nenek pun memenuhi panggilan Allah.
Lalu ayahnya menjadi orang tua tunggal. Berbagi peran sebagai seorang ayah sekaligus seorang ibu bagi putri sematawayangnya. Ia teringat bagaimana masa-masa itu, sanak keluarga menawarkan Ayahnya untuk menikah lagi, berhubung usia sang ayah yang masih muda. Namun setiap kali tawaran itu datang, ayah selalu melirik kearahnya yang tidak tahu apa-apa seraya berkata,"cukup Dhuha untukku sekarang". Karena itulah ia menyebut sang Ayah sebagai lelaki setianya. Ia sangat mencintai ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DHUHA
RomanceSejak kecil Dhuha telah dibesarkan oleh Ayahnya tanpa seorang ibu. Sehingga sosok ayahnya adalah satu-satunya orang yang paling dicintainya. Namun siapa sangka takdir tuhan lagi-lagi mengujinya dengan kehilangan sang ayah. Ditengah kehilangannya itu...