Bagian [6]

104 11 1
                                    

Kini ia telah bersama orang-orang shalih. Adakah tempat yang lebih baik dari Mu'alla? Tapi mengapa ini masih terasa begitu sakit. Entah dunia yang sudah gelap atau mataku yang tidak bisa lagi terbuka.

______

Jam sudah menunjukkan pukul 09:00 Wib. Ia saja baru selesai menunaikan shalat Dhuha. Hari ini, jadwal kuliah paginya dibatalkan karena dosennya sedang berhalangan. Akhirnya ia mengisi waktu kosongnya itu dengan membaca Shirah Nabawiyah yang belum terselesaikan. Padahal sejak semester dua ia sudah mulai membacanya, tetapi hingga sekarang di semester lima pun masih belum juga selesai. Minat membacanya memang sangat kecil. Untuk pelajaran apapun, Dhuha tipikal yang lebih suka mendengar dari pada membaca. Ia merasa indra pendengarannya lumayan lebih bagus daripada indra lainnya.

Menit berikutnya, terdengar suara ketukan pintu. Dhuha bergegas membukakannya.

"Paman."
"Tadi ayahmu menelpon, katanya sudah tiba di Madinah. Dia juga titip salam ke kamu.", kata paman sambil tersenyum.
"Alhamdulillah. Paman, Ayah sehat kan?"
"Alhamdulillah sehat. Yaudah kamu lanjut selesaikan baca shirahnya. Sesekali ajak fani dan amar untuk selesain baca shirah. Kalau tidak, kedua bocah itu hanya tau bermain saja." Kata paman sambil menunjuk ke arah shirah yang ada ditangan Dhuha.
"Baik paman".

Pukul 4 sore. Langit masih cerah. Qadrullah, beberapa hari kemarin kota Banda Aceh memang sering diguyur hujan. Dengan menggunakan gamis hijau favoritnya, Dhuha berangkat ke TPA tempat Fatimah mengajar. Dhuha sudah terlanjur berjanji pada Fatimah untuk menemaninya hari ini.

Padahal sudah beberapa kali Fatimah mangajaknya untuk bergabung menjadi ustadzah TPA, namun Dhuha selalu menolaknya. Alasannya menolak karena ia merasa tidak mampu beradaptasi dengan baik terhadap anak-anak. Beradaptasi dengan mereka menjadi beban tersendiri baginya. Karena Dhuha tipikal yang tidak pandai untuk bercerita, berpura-pura, atau memahami anak-anak. Dunianya dan dunia mereka terasa sangat berbeda. Dan Dhuha tidak ingin mencoba memasuki dunia fantasi mereka. Dan hari ini, jika bukan karena fatimah, maka Dhuha tidak akan pernah pergi ke TPA ini.

Terlihat wajah sumringah Fatimah ketika menyadari kedatangan sahabatnya itu. Ia langsung menarik lengan Dhuha untuk bergabung dengan kelompok belajar anak-anak.
"Ayo ucapkan salam sama ustadzah Dhuha".

Ustadzah?
Dhuha merasa tak enak hati dengan sebutan itu. Rasanya sebutan itu membuat hatinya sedikit berat untuk memaknainya. Mungkin wajar jika fatimah menyebutkan ustadzah dihadapan anak-anak, tetapi sungguh, Dhuha benar-benar merasa tidak nyaman.

"Ass..salamualaikum ustadzah" kata anak-anak serentak.
"Waalaikumsalam... perkenalkan nama kakak, Dhuha. Dhuha Thahiratunnisa. Adik-adik bisa panggil kakak, kak Dhuha. Please, jangan panggil ustadzah, oke???" Katanya memulai sebuah kesepakatan.

Fatimah tertawa mendengar permintaan sahabatnya itu.
"Baik kak Dhuha,", anak-anak itu menyetujuinya tanpa syarat.

Dhuha merasa lebih lega sekarang. Dua jam berlalu, mau tidak mau, Dhuha harus ikut nimbrung bersama anak-anak. Dan ternyata mereka mampu membuatnya bahagia. Mereka menjadi teman baik Dhuha hari itu.

"Terimakasih banyak ya ha, udah datang dan bantu hari ini. Kebetulan ada beberapa ustadzah yang tidak masuk hari ini. Jadi kehadiran kamu sangat membantu hari ini", kata Fatimah bahagia.

"Sama-sama. Aku juga senang kok bisa bergabung".

"Gimana? Kamu mulai menyukai mereka?", tanya fatimah antusias.
"Yup. Sedikit."
Fatimah kembali tersenyum.

DHUHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang