Kamu, adalah variabel Independenku.
🍁Diluar hujan deras. Langit tampak gelap padahal jam baru menunjukkan pukul 16:30 wib. Affan belum juga pulang. Dhuha memutuskan memasak bubur kacang hijau sore ini. Sambil mengaduk bubur, ia teringat pada tugas skripsinya. Tadi pagi ia dan teman-teman seruangnya sudah dibagikan dosen pembimbing sesuai dengan penelitian yang akan mereka lalukan.
"Siapa dopingmu, ha?"
"Pak Rian Riady Maturwey"
"Masya allah, selamatlah kamu ha, harus extra kuat"
"Memang kenapa?"
"Kamu gak tau pak Rian itu gimana?"
Dhuha menggeleng polos.
"Ya allah, kamu ketinggalan banget sih"
"Yah mana ku tahu, kan beliau gak pernah masuk dikelasku"
"Iya sih, yaudah deh dari pada ntar aku ngasih info yang salah, mending kamu jumpain kak Layla deh, dia anak bimbingannya pak Rian tahun lalu."
"Kak layla teman bang Rahman?". Fatimah mengangguk mantap.Hari itu juga, dengan perasaan was-was, Dhuha langsung menemui Layla diperpustakaan. Alhasil, kata Layla, ia harus ekstra sabar sama pak Rian nanti, karena beliau adalah dosen muda yang super sibuk, pelupa, perfectionist dan paling gak suka jika dihubungi lewat Whatapps.
"Lalu hubunginya lewat apa dong kak?", tanyanya heran. "Telpon atau sms, itupun kalau sempat ia terima atau balas".
Tampak bubur yang diaduknya mulai mendidih, sepertinya sudah matang, Dhuha langsung mematikan kompor. Tiba-tiba saja selera makannya hilang, ia kembali kefikiran skripsinya, ia takut bakal telat lulus, harus bayar SPP lagi, ah ia benar-benar tidak ingin memberati Affan, ia merasa malu pada Affan.
Hujan diluar semakin deras, ia teringat Affan yang masih belum pulang. Dhuha bergegas mengambil gadgetnya dikamar, lalu menggenggamnya sesaat.
Ia ragu, kutelpon tidak ya? Ah kutelpon saja deh, daripada nanti ada apa-apa. Ah tapi gak maulah, malu. Ntar dia fikir aku khawatir lagi.
Tiba-tiba handphonenya bergetar. Satu pesan masuk.
Saya sudah hampir sampai rumah, tolong ambilkan handuk saya ya, saya kebasahan.
Ah syukurlah, akhirnya dia pulang.
Mendengar suara motor diluar, Dhuha bergegas membukakan pintu. Benar saja, laki-laki itu benar-benar basah. Bibirnya terlihat pucat. Seluruh tubuhnya tampak menggigil. Dhuha segera menyodorkan handuk yang ditangannya.
"Kenapa harus basah-basahan gini? Kan bisa nunggu hujannya reda dulu" kata Dhuha.
"Kamu khawatir sama saya?" Goda Affan.Dhuha hanya diam. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Terlalu lama kalau nunggu hujannya reda, sedangkan saya tidak sabar untuk pulang karena..." kata Affan setengah berbisik.
Ternyata Dhuha mendengarnya.
"Karena apa??" tagih Dhuha.Affan langsung menggeleng, "gak papa. Saya masuk dulu"
"Mau saya buatkan teh?"
"Emm... Kopi saja"Ba'da isya, Dhuha duduk didepan televisi. Terlihat Affan sibuk dengan laptopnya. Sampai sekarang Dhuha masih belum tahu apa kesibukan Affan disini. Entah ia seorang guru, pebisnis, karyawan atau bahkan dosen, Dhuha tidak pernah menanyakannya. Tetapi dari senin-jumat, Affan selalu berpakain rapi keluar rumah. Dan hampir setiap malam juga, ia sibuk berkutat dengan laptopnya.
Sedikit demi sedikit, Dhuha mulai menghafal kebiasaan Affan, mulai dari bangun tidur sampai ia tidur lagi. Dhuha menoleh kearahnya sejenak, satu menit, tidak lebih. Selama ini Dhuha tidak pernah memandangnya lebih dari satu menit. Karena satu menit sudah cukup lama baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DHUHA
RomanceSejak kecil Dhuha telah dibesarkan oleh Ayahnya tanpa seorang ibu. Sehingga sosok ayahnya adalah satu-satunya orang yang paling dicintainya. Namun siapa sangka takdir tuhan lagi-lagi mengujinya dengan kehilangan sang ayah. Ditengah kehilangannya itu...