Kita adalah dua sisi yang berbeda
lalu saling bertemu tanpa sengaja.
🌱Sinar matahari begitu terik hari ini. Mushalla kampus menjadi satu-satunya tempat berteduh yang nyaman untuk siang itu. Ba'da shalat Dzuhur Dhuha melanjutkan tilawahnya. Lima menit setelahnya, alarm handphonenya berbunyi kecil pertanda sudah saatnya ia menuju rungan pak Rian.
Setelah satu bulan melaksanakan penelitian dengan segala administrasinya yang lumayan melelahkan, akhirnya siang ini Dhuha bisa melanjutkan konsul keempat kalinya untuk bab lima hasil penelitiannya.
Akhir-akhir ini Dhuha mulai khawatir memikirkan skripsinya yang tak kunjung di Acc oleh Rian. Hampir semua teman-temannya sudah sidang akhir. Bahkan dari pihak akademik kampus sudah memberikan peringatan bahwa masa akhir sidang akhir semester ini tinggal satu minggu lagi. Jika Dhuha tidak bisa mengejar dalam minggu ini, maka mau tidak mau ia harus membayar spp untuk semester sembilan.
Ah, ia tidak bisa membayangkannya. Bagaimana nanti ia akan mengatakannya pada Affan? Rasanya ia tidak tega dan malu terhadap Affan. Namun mengharapkan Acc dari Rian pun seperti masih dalam bayangan. Ia tidak tahu lagi cara memperbaiki skiripsinya itu agar benar-benar perfect di mata Rian.
Lunaknya hati Rian, adalah satu-satunya doa Dhuha saat ini. Ia tidak ingat sudah berapa banyak kalinya ia menyebut nama Rian dalam doanya.
Tidak ada yang berubah dengan wajah datar Rian. Ia masih saja sibuk membuka lembar demi lembar skripsi Dhuha yang sudah diperbaikinya.
"Kenapa masih acak-acakan banget sih pembahasannya?" Ucap Rian kurang puas.
"Tapi saya sudah memperbaiki sesuai saran Bapak"
"Lalu kenapa masih banyak yang ga nyambung? Bahkan masih ada paragraf yang tidak mendukung dengan hasil penelitian kamu."
"Maaf pak, saya akan memperbaikinya lagi."
"Kalau selalu seperti ini skripsi kamu, saya tidak bisa acc dalam minggu ini. Saya tidak mau dipermalukan di hadapan penguji kamu nanti. Ntar disangka saya yang ga bisa membimbing dengan baik." Ucap Rian dingin.
Dhuha hanya bisa menghela nafas panjang.
Matanya mulai berair. Ia tidak berani lagi menatap ke arah Rian."Tapi pak, minggu ini adalah minggu terakhir untuk sidang semester ini, jika saya tidak terkejar dalam minggu ini, maka saya harus membayar spp lagi pak." cerita Dhuha memulai negoisasi dengan Rian.
Rian tertawa ketus, "Itu kan resiko kamu. Kok malah curhat sama saya."
Deg. Dhuha tidak menyangka jawaban dosennya itu akan sedingin dan sesesak itu. Dengan wajah lemas ia keluar dari ruangan Rian.
Fatimah yang sedang menunggu diluar langsung beranjak bangun.
"Gimana ha?", tanyanya khawatir.
Dhuha menggeleng lemah. Fatimah langsung merangkul Dhuha dalam pelukannya.
"Serahin sama Allah, Ha. Semua akan baik-baik saja. Allah satu-satu Nya Maha Penolong", kata Fatimah mencoba menenangkan Dhuha.
Sepulang dari kampus Dhuha langsung menyiapkan makan siang untuk Affan. Setelah itu ia langsung duduk dihadapan laptopnya.
Ditengah mood yang berantakan seperti ini, rasanya skripsi seperti musuh yang mendatangkan rasa mual dan muak dalam dadanya. Bahkan perutnya yang kosong sejak tadi pagi serasa penuh dengan beban skripsi. Rasanya saat ini ingin sekali ia menjauh dari tugas skripsi itu, namun mau tidak mau ia harus menyentuhnya segera.
KAMU SEDANG MEMBACA
DHUHA
RomanceSejak kecil Dhuha telah dibesarkan oleh Ayahnya tanpa seorang ibu. Sehingga sosok ayahnya adalah satu-satunya orang yang paling dicintainya. Namun siapa sangka takdir tuhan lagi-lagi mengujinya dengan kehilangan sang ayah. Ditengah kehilangannya itu...