Bagian [3]

137 13 2
                                    

Libur panjang sudah didepan mata. Tidak bisa dipungkiri rasa bahagia yang Dhuha rasakan karena sebentar lagi ia akan segera pulang ke kampung halamannya.

Bukan hanya Dhuha, hampir seluruh teman-temannya juga merasakan hal yang sama. Namun ada juga yang katanya lebih betah di tanah rantau, bahkan ada yang memutuskan untuk menghabiskan liburan di Aceh.

Kadang Dhuha merasa aneh dengan pilihan mereka. Tetapi itulah ritme kehidupan. Setiap ritmenya akan berbeda dan tidak beraturan. Dan itu adalah hak mereka untuk memilih.

Intinya, semua orang bahagia dengan datangnya libur panjang kali ini. Bahkan banyak yang sudah membuat list agenda yang akan mereka lakukan selama liburan.

Bagi Dhuha, hanya ada satu list besar yaitu menghabiskan hari libur yang ia miliki bersama Ayahnya. Hanya itu. Dan cukup itu bagi Dhuha. Ia tidak memiliki list lain selain itu.

Tiket kepulangannya sudah Hakim siapkan sejak jauh hari. Hakim tahu betapa antusias sepupunya itu untuk pulang ke kampung halaman. Bahkan ia tidak ingin terlambat satu haripun.

Hari kuliah terakhir, Aminah memeluk Dhuha dengan erat.

"Salam dariku untuk Ayahmu ya Ha. Jangan lupa mengabariku sesampai disana. Aku janji akan memberikan oleh-oleh khas daerahku ketika kamu kembali kesini nanti. Jadi, berjanjilah kamu akan kembali."

"Insya Allah."

Jadwal penerbangan Dhuha tepat pada pukul 06.30 Wib. Paman dan Hakim yang mengantarkannya ke bandara.

Beberapa hari lagi, paman beserta keluarganya juga akan menyusul ke Palembang. Mereka akan menghabiskan Lebaran Idul Fitri disana.

Tepat pukul 13.00 wib, Dhuha tiba di Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II setelah transit beberapa kali. Ia langsung mencari mushalla di bandara untuk menunaikan shalat Dzuhur.

Ba'da shalat, perutnya mulai terasa keroncongan. Kepalanya mulai celingukan mencari sosok ayah.

Ayah mana ya? Katanya akan menjemputku lebih awal. Walaugimanapun kan rinduku lebih besar dari rasa lapar.

Akhirnya ia memilih duduk disalah satu bangku. Ia menghidupkan ponselnya dan berniat untuk menelpon sang ayah.

Panggilan pertama, tidak ada jawaban.
Kedua, alhamdulillah terhubung.
"Assalamualaikum ayah, Dhuha sudah tiba dibandara yah"
"Waalaikumsalam. Wah gimana ya, ayah belum jalan lagi ni"

Mendengar itu, pandangannya langsung menunduk ke bawah.

"Kamu kenapa ha? Kok nunduk? Ayah disini loh!"

Seketika ia langsung mengangkat kepalanya kedepan dan disana ia melihat ayahnya. Sang ayah melambaikan tangannya kearah Dhuha dengan senyum lebar.

Ah, hati Dhuha berbunga-bunga tak karuan.

Tanpa diminta butir air mata mengalir begitu saja. Ia menghamburkan diri dalam pelukan ayahnya.

"Dhuha rindu banget sama Ayah. Rasanya udah lama banget gak lihat ayah."

"Ayah juga".

Sepanjang perjalanan pulang kerumah, Dhuha hanya duduk memandangi Ayahnya. Wajah ayah masih tampan, tidak ada yang berubah. Tangannya juga tidak lepas dari genggaman tangan sang ayah.

Perlahan-lahan rindu itu mulai terobati. Rasa rindu yang selama ini menjepit hatinya seakan melonggar begitu saja. Bahkan tidak ada sakit yang ia rasa lagi. Ia merasa bersyukur dan bahagia.

Alarm berbunyi. Dhuha terbangun, duduk sebentar lalu beranjak bangun ke kamar mandi.

Jam menunjukkan pukul 03:15 wib. Usai berwudhu, langsung ditunaikannya shalat tahajud dua rakaat lalu ditutup dengan shalat witir.

DHUHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang