Bagian [2]

180 16 0
                                    

Kenyamanan itu timbul sendiri seiring waktu yang berjalan. Kisahnya menumbuhkan cinta yang berkesan. Dan semakin lama, mau tidak mau harus diakui bahwa suatu hari akan ada rindu untuk kembali.
_____

Pesawat mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda. Dhuha menghela nafas berat. Ia terus menggengam tangan ayahnya. Genggaman yang hangat. Untuk pertama kalinya mereka berkunjung ke tanah Aceh. Ayah Dhuha sengaja mengantarkannya sekaligus menemui paman, adik satu-satunya sang Ayah. Sesuai janji, Hakim, sepupunya lah yang akan menjemput di bandara. Ia putra sulung pamannya. Umur mereka terpaut 3 tahun.

Seorang laki-laki berkaos biru menghampiri mereka dengan senyuman yang lebar. Wajahnya tak asing. Langkahnya semakin dekat. Dia Hakim, sepupu Dhuha. Ia langsung menyalami ayah.

"Sudah lama sampai mangcak?"

"Tidak kok. Baru saja"

"Maaf Hakim sedikit terlambat. Baru selesai kuliah."

"Iya gak papa kok".

Hakim langsung memboyong koper Dhuha kedalam Jazz putihnya.

"Kita lewat jalan pintas aja ya, biar cepat sampai."

Suasana hening. Mereka sama-sama menikmati pemandangan sekitar jalan. Indah. Lumayan indah.

"Dhuha, sejak tadi diam saja."

Kali ini Hakim bersuara untuk memecahkan suasana. Dhuha hanya menanggapinya dengan senyum. "Maklum lah Hakim, sepupumu ini baru pertama kali ke tanah rantau."

"Selamat datang di Tanah Aceh ya. Semoga kamu betah disini. Dan insya allah aku yakin kamu akan betah disini."

Kalimat positif dari Hakim sama sekali tidak meyakininya.

15 menit perjalanan, mereka sampai di rumah paman. Sang paman sedang duduk di teras bersama bibi. Begitu melihat ayah Dhuha turun dari mobil, Paman langsung berlari mendekati kakaknya. Mereka berpelukan. Lumayan lama. Suasana berubah haru.

Setelah itu mereka langsung diboyong ke ruang makan. Bibi sudah menyiapkan sarapan untuk tamu spesialnya kali ini.

Usai sarapan, percakapan kecil pun dimulai.
"Kando akan lama kan disini?", tanya paman hasan kepada kakaknya.

"Lusa aku sudah harus balik."

"Kok cepat sekali."

"Karena tidak bisa berlama-lama meninggalkan kebun dan mesjid".
Paman pun terdiam.

Malam itu Dhuha masih gelisah. Gelisah karena akan segera berpisah dengan ayahnya. Mengapa ayah terlalu cepat balik ke Palembang? Pertanyaan itu hanya dapat tersimpan dalam hati. Pertanyaan satu arah.

Malam berlalu. Hari kembali pagi. Hari ini paman membawa tamunya keliling-keliling tanah Aceh. Mulai dari Mesjid Raya Baiturrahman, Meseum Tsunami sampai di pusat pembelanjaan oleh-oleh khas Aceh.

Dhuha sama sekali tidak menikmati perjalanan itu. Ia hanya menikmati wajah sang Ayah. Ia ingin merekam wajah ayahnya sepanjang hari ini. Titik fokusnya hanya wajah sang Ayah.

Andai ayah berubah pikiran dan membawaku pulang, harapnya.

Ditemani paman Hasan, mereka mengantar ayah ke bandara keesokan harinya. Sang Ayah masih tampak biasa saja selama perjalanan. Sedangkan Dhuha hanya dapat menunduk dalam-dalam, menutupi ekspresi wajah muramnya.

Hingga tiba pada detik terakhir. Ayah memeluk Dhuha dan berbisik kecil.

"Ayah sayang sama Dhuha. Namun ayah tidak ingin Dhuha lemah karena rasa sayang ayah, justru Ayah ingin Dhuha semakin kuat dan mandiri dengan rasa sayang ayah. Dhuha harus belajar untuk hidup bersama orang lain. Karena tidak selamanya Dhuha akan hidup bersama Ayah."

DHUHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang