Bagian [7]

108 9 0
                                    

Belum tentu semua pemberian Allah itu apa yang pernah kita pinta, namun justru Allah berikan apa yang kita butuhkan. Dan kamu adalah pemberian Allah yang belum pernah kupinta sebelumnya.

_____

Fatimah menjadi orang pertama yang menyambut Dhuha dibandara Sulthan Iskandar Muda. Ia memeluk erat tubuh sahabatnya yang sedang Allah uji itu.
"Aku tahu kamu sahabatku yang paling kuat, aku janji bakal selalu ada disamping kamu"

"Terimakasih fat"

Setiap ketentuan dari Allah adalah pembelajaran dan hikmah. Dengan ujian yang Allah beri, Dhuha mencoba untuk lebih kuat dan melatih ketabahannya. Sebulan telah berlalu sejak kepergian ayahnya.

Dhuha telah mengikhlaskan kepergian ayahnya. Ia yakin bahwa almarhum sudah tenang disana tanpa harus memikirkan masalah duniawi. Ia senantiasa berdoa, agar Allah mengampuni dosa-dosa ayahnya dan mendapat tempat yang mulia disisi-Nya.

Namun ternyata, rasa ikhlas dalam hatinya belum mampu menghapuskan perasaan kehilangan yang terus saja mendera. Bahkan rasa kesepian itu semakin hari semakin kuat. Sunyi. Tidak ada lagi perhatian ayah, tidak adalagi yang menelponnya atau bahkan untuk video call bersama.


Terkadang Dhuha berfikir, mengapa tidak ada jaringan khusus yang menghubungkan alamnya dengan alam ditempat ayahnya berada?

Andaikan saja kami bisa tetap video call walau dialam yang berbeda. Masih banyak yang ingin aku katakan pada ayah.

Hanya doa terbaik yang mampu ia kirimkan untuk ayah dan ia yakin bahwa doa ayahnya juga tidak putus untuknya meski kini berada di alam yang berbeda.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Waktu berlalu begitu cepat. Dhuha memasuki semester Enam sekarang. Tidak disangka, bahwa akhirnya ia mampu melewati badai yang menerpa tiga bulan yang lalu. Hampir saja ia tidak mampu bangun lagi, namun dorongan dari keluarga, karabat dan teman dekatnya telah membuatnya bertahan sejauh ini.


Seperti biasa, malam jum'at ba'da shalat maghrib, Dhuha menghadiahkan pahala baca yasin kepada Almarhum Ayah dan ibu. Dua kekasih yang kini telah menyatu disana. Tak lama setelah itu adzan isya berkumandang. Dhuha langsung melanjutkan shalat isya.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu.Ternyata Hakim. Wajahnya sedikit tegang tidak seperti biasanya. Perasaannya berubah menjadi khawatir.

"Ada apa bang?"
"Kamu udah isya?"
"Udah."
Ia pun terdiam sejenak.
"Begini ha, ayah menyuruh kamu turun kebawah."

Ada apa ya? Kenapa wajah bang Hakim seperti ketakutan dan sedikit tegang. Apakah ada hal yang sangat penting? Jantungku berdetak semakin cepat, rasanya hampir saja keluar dari dadaku.

"Dhuha ganti mukena dulu ya"
"Oke. Abang tunggu disini"
"Kok tunggu? Ah, duluan aja sana, ntar aku nyusul"
"Gak papa, kita turun bareng aja," katanya yang semakin membuat Dhuha merasa curiga.
Dhuha segera menutup pintu kamarnya dan mengganti mukena.
"Paman dimana bg?" tanyanya ketika sampai dilantai bawah.

"Di ruang tamu"

Dari kejauhan Dhuha dapat mendengar ada suara obrolan dari ruang tamu. Pertanda pamannya tidak sendiri.

Mereka pun langsung menuju ruang tamu. Begitu menyadari kedatangannya, bibi langsung menyuruhnya duduk disampingnya.
Dihadapan Dhuha ada seseorang lelaki berkemeja biru. Dhuha tidak mengenalinya sama sekali.

DHUHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang