Bab 2

3.6K 153 2
                                    

Kutarik nafas sebelum mengangkat telpon.

"Assalamu'alaikum, Chaca marica hey hey!" Aku selalu menyebut namanya dengan cara meniru gaya penyanyi lagu daerah dari Nusa Tenggara Timur itu.

"Wa'alaikumsalam, Ma'ruf." Terdengar suara Chaca dari seberang telpon, suara itu, suara yang selalu aku rindukan.

"Ma'ruf besok sibuk, gak?" sambung Chaca setelah menjawab salam dariku.

Aku berfikir keras untuk menjawab pertanyaannya ini karena besok ada beberapa mahasiswa yang sudah janjian denganku untuk bimbingan skripsi mereka, namun aku tak sanggup menolak ajakannya. Apalagi sudah beberapa bulan ini kami belum pernah bersua. Eh, dia kan belum mengajak bertemu. Dasar baper.

"Memangnya kenapa?" tanyaku basa-basi.

"Aku mau ngajak kamu ketemuan besok."

"Besok aku ada jadwal ngebimbing, Cha."

"Aku tunggu deh, besok aku temenin kamu ngebimbing. Oke?"

Apa benar-benar penting sampai dia mau menungguku? Atau memang benar jika dia ingin membicarakan bahwa dia telah memilihku? Ah, ratu drama itu paling bisa membuat aku baper.

"Oke." ucapanku ini mengakhiri percakapan kami.

Segera kutarik draft-draft skripsi mahasiswa yang sudah menumpuk di meja kerja menunggu giliran untuk dikoreksi. Setelah kejadian beberapa menit tadi kuyakini pasti malam ini mataku enggan terpejam, kalau pun terpejam kemungkinan akan mimpi berkepanjangan, besok akan kesiangan dan terlambat mengajar.

Karena setelah telfonan, aku belum juga mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Payah. Mengapa lidahku selalu kelu untuk menanyakan kepastian padanya?

Apakah aku akan mendapatkan kepastian setelah sekian lama menunggu?

****
Hari ini sedikit berbeda, entah apa yang membuat menjadi berbeda. Padahal selama bertahun-tahun ini, tidak ada sedikit pun kemajuan yang terjadi. Chaca hanya menganggapku sebagai sahabatnya, tidak lebih. Apa mungkin karena hari ini harapanku semakin bertambah?

Rasanya hari ini aku tidak ingin mengajar dan membatalkan semua jadwal bimbingan. Ah, tapi bagaimana mungkin itu terjadi. Aku harus profesional pada pekerjaan yang baru aku keluti selama satu tahun ini. Bagaimana pun, kesibukan inilah yang telah membantuku untuk menepis bayang-bayang Chaca yang selalu muncul. Tenang Ma'ruf, sedikit lagi kau akan mendapat kepastian.

Berkoar-koar selama 3 SKS di dua kelas membuat tenaga sedikit terkuras, biasanya aku mengajar 3 SKS di tiga kelas per hari namun tidak seperti ini, kali ini badanku menjadi sedikit lemas. Mungkin karena jam tidur yang hanya kurang lebih dua jam atau mungkin karena tadi semangat terlalu berapi-api ketika mengajar. Entahlah.

Dua jam lagi adalah jadwal bimbingan mahasiswaku, setelah sholat di musholah kampus aku sedikit tertidur di dalam ruangan kerja. Kurasa ini bisa sedikit membantu konsentrasi untuk memberikan solusi-solusi kepada mahasiswa tingkat akhir dan bertemu dengan Chaca.

[Dimana?]

[Di Ruang kerja.]

[Otewe]

[Oke sip.]

Sisa satu mahasiswa lagi yang akan ku bimbing hingga akhirnya Chaca tiba di ruangan kerjaku.

Wanita itu, wanita dengan senyuman termanis menurutku. Alisnya yang tersusun rapi dengan gigi ginsulnya semakin membuatnya terlihat begitu menawan. Dia terlihat memakai gamis warna biru dongker dengan jilbab senada.

"Duduk sini, Cha." kupersilahkan dia untuk duduk di kursi plastik berwarna merah yang ada di dekat meja kerjaku.

Aku terus berkonsentrasi untuk mencorat-coret skripsi yang ada dihadapanku ini. Ah, mahasiswa terakhir yang kubimbing hari ini adalah seorang mahasiswa yang sudah hampir punah. Terlihat dari skripsinya yang hanya dibuat asal-asalan dan copy paste, ini sedikit membuat seakan tanduk di kepalaku ingin keluar.

Sepercik Doa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang