Bab 11

3.1K 159 25
                                    


18+++

****
Berjalan cepat menyusuri jalan yang dipenuhi dengan banyak orang yang berlalu lalu lalang, Ma'ruf membawa tubuh Chaca yang sedang tidak bedaya di dalam gendongannya.

Perasaan panik dan khawatir merasuki tubuhnya, takut terjadi apa-apa pada istri yang sangat dia cintai. Chaca maricanya.

Beberapa perawat menghampirinya. Dia meletakkan tubuh lemah Chaca di atas brankar dorong rumah sakit yang di bawa oleh perawat. Dia terus memegang tangan Chaca yang sangat dingin menuju ruang ugd. Berharap hangat tubuhnya bisa memberikan energi untuk Chaca lewat genggamannya.

"Bapak mohon tunggu di luar, istrinya kami periksa dulu," ucap salah satu perawat ketika sampai di ambang pintu ruang ugd.

Ma'ruf mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan Chaca, dia tidak bisa tenang melihat keadaan Chaca. Rasa menyesal dan merasa bersalah begitu memenuhi pikirannya.

"Seharusnya tidak kutahan dia," lirih Ma'ruf yang terus-menerus menyalahkan dirinya..

Mengusap rambut dengan kasar, lelaki itu menyesali perbuatannya yang tidak membawa Chaca makan.

Di tengah kegusaran yang melanda, selalu ada doa yang terucap di dalam hati Ma'ruf.

Usapan kasarnya berpindah di wajah. Lalu mengalihkan wajah ke arah pintu yang masih tertutup. Dadanya berdegup kencang.

"Allah, berikan kesembuhan untuknya," bisiknya lirih pada batin yang tidak tenang.

*****

Ma'ruf masih setia di tempatnya. Duduk bergeming dengan kedua tangan menggenggam tangan Chaca yang diinfus. Lebih dari setengah jam. Namun, lelaki itu masih enggan mengubah posisinya.

Pemilik wajah pucat yang tengah menutup mata itu membuat hati Ma'ruf tidak tenang. Setelah dokter mengatakan jika Chaca terlalu kecapaian, banyak fikiran, dan kekurangan darah, Ma'ruf merasa gagal menjadi suami.

"Bangun, Chaca Maricaku," bisiknya lirih tepat di telinga yang terbuka milik Chaca. Ini terhitung yang ke-14 kalinya ia membisikkan kalimat itu.

Tidak ada tanggapan.

Hingga, kelopak mata yang terus ia pandangi itu mulai bergerak. Bulu mata mulai terangkat, menampakkan sepasang netra cokelat terang yang membuat dada Ma'ruf selalu berdetak.

"Chaca? Ka-kamu udah sadar?" Tidak terhitung lagi skala kebahagiaan yang dirasakan Ma'ruf. Ia tersenyum lebar sembari menciumi tangan Chaca yang berada dalam genggamannya.

"Ruf ...."

"A-aku panggil dokter! Bentar!" Ma'ruf yang dipenuhi letupan rasa bahagia itu segera bangkit dari kursi plastik. Ia tidak peduli apapun selain Chacanya.

Bug!"

"Ish!" Ma'ruf meringis saat pinggangnya menabrak sudut brankar Chaca. Lalu segera melangkah keluar. Meninggalkan Chaca seorang diri, yang tengah merasakan kehangatan di dalam lubuk hatinya.

Pertama kalinya. Ada yang mengkhawatirkan dirinya hingga tidak peduli dengan rasa sakit yang dirasakan lelaki itu.

*****

"Satu sendok lagi, Cha!" Ma'ruf mengangkat sendok yang terisi penuh bubur putih. Gadis yang tengah menjadi pasien lelaki itu malah menutup mulut rapat, ditambah dengan kedua tangan.

"Pahit, Ruf!"

"Sekali lagi aja, Cha. Biar kamu cepetan sembuh. Kalau kamu cepetan sembuh, kamu bisa segera keluar dari sini. Kalau kamu keluar, kamu nggak bakalan nyobain bubur ini lagi. Kalau nggak percaya, tanya aja sama Bu Dokter. Iya, kan?"

Sepercik Doa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang