Aku mengusap wajah untuk mengembalikan seluruh kesadaranku.
Bagaimana ini ...?
Sekarang, di depan sana, ibu sedang menatap ke arah kami dengan pandangan yang sulit diartikan.
Aduh ... kenapa bisa ketahuan begini ...!
Kupalingkan wajah ke samping, tak berani menatap ibu. Jantungku jangan ditanya bagaimana degupnya, cepat sekali. Seperti sedang menunggang kuda untuk pertama kali. Perasaan takut dan cemas kini mendominasi hati. Sungguh, kejadian ini tak pernah kubayangkan akan terjadi, di hari pertama pula.
Arrgghh! Matilah aku ...!
Tiba-tiba kakiku terasa seperti sedang dipijat, sontak kepala menoleh ke arah Chaca yang sedang tersenyum canggung.
"Ma'ruf, kamu kok tega nyuruh Chaca mijitin kaki kamu. Dia kan juga capek, sama seperti kamu!" Suara ibu terdengar sedikit lebih keras dari biasanya.
Aku melihat ke arah ibu sebentar, kemudian beralih melihat Chaca kembali.
"Gak apa-apa kok, Bu," ucap Chaca yang terus memijat betisku.
Seketika aku terdiam, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Ah, untung saja Chaca bergerak cepat. Menyelamatkan keadaan yang genting ini. Kalau tidak, pasti di dalam ruangan ini sudah riuh dengan banyak orang yang akan menghakimi kami berdua.
Aku memamerkan senyum ke arah ibu, berharap agar ia tidak curiga. Agar sandiwara Chaca tidak ketahuan.
"Ya sudah, ini handphone-mu. Tadi ketinggalan!" ketus ibu. Tatapannya masih seperti tadi, mungkin masih kesal karena menyangka aku menyuruh Chaca memijat kakiku.
Ibu ... maafkan anakmu ini.
"Disimpan dekat situ saja, Bu. Mata Ma'ruf berat sekali," ucapku yang kembali merebahkan kepala di atas bantal.
Kulihat ibu memasuki kamar dan meletakkan ponselku di atas meja kecil dekat sofa. Lalu berdiri kembali menghadap ke arah kami berdua.
"Chaca, kamu kok cuma bengong?" Ibuku menginterogasi Chaca yang hanya duduk diam di samping kakiku. Sepertinya dia sekarang sedang tidur dengan mata terbuka lagi, seperti yang sering ia lakukan di jaman kuliah dulu. Aku menahan tawa saat melihatnya tersentak mendengar ucapan ibu.
"Eh, anu, Bu. Ini baru mau baring."
Perlahan Chaca merebahkan dirinya di sampingku tanpa bantal. Lengan kecilnya melingkar pas di pinggang, membuat debaran di dalam dada semakin kencang. Aku bahkan sampai menahan napas. Entah karena gugup, atau terlampau bahagia.
"Gitu, dong." Ibu tersenyum sambil berjalan menuju keluar kamar dan menarik pintu sampai tertutup.
Aku menarik napas lega. Tak hentinya mengucap syukur karena Allah masih menyelamatkan kami. Menyelamatkan pernikahan ini.
Cubitan Chaca di perut seketika menyentak kesadaranku kembali.
"Cepat kunci pintunya, Ruf. Mataku sudah tidak sanggup lagi ...." Chaca memalingkan tubuhnya menjadi membelakangiku.
Dengan sisa-sisa kesadaran yang masih ada, aku bangun untuk mengunci pintu kamar. Setelahnya, kembali berbaring di samping istriku, Chaca Maricaku. Wajahnya terlihat sangat cantik ketika tertidur. Begitu damai. Tenang sekali rasanya hati saat menatapnya sedekat ini. Membuat kantukku lenyap seketika.
Sungguh, takkan kusia-siakan kesempatan ini. Aku ingin menatapnya dengan puas sepanjang malam. Sayangnya, aku hanya bisa menatap, tapi tidak untuk menyentuhnya.
Huh!
Chaca, andaikan kau tahu perasaanku ini. Apakah kau akan membenciku selamanya?
Tiba-tiba Chaca membuka matanya. Membuatku kelimpungan seketika. Kami berpandangan. Saling menatap satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepercik Doa Cinta
RomanceCinta itu tidak selamanya akan terbalas. Aku cukup tahu akan hal itu. Oleh karenanya, aku memendam rasa padanya hingga 9 tahun. Tanpa diketahui siapapun. Aku cukup sadar diri, gadis yang selalu membuat jantung ini berdebar tidak akan pernah membalas...